BerandaPolitikKondisi Indonesia Disebut Sentralistik Usai Penunjukan Penjabat Kepala Daerah

Kondisi Indonesia Disebut Sentralistik Usai Penunjukan Penjabat Kepala Daerah

JAGAMELANESIA.COM – Feri Amsari, ahli hukum tata negara dari Themis Indonesia menyebut kondisi Indonesia akan menjadi sentralistik pasca penunjukan Penjabat (Pj) Kepala Daerah sepanjang 2022 dan 2023.

Dalam sebuah diskusi, Feri mengatakan, kondisi itu terjadi karena proses penunjukan Pj kepala daerah tersebut tidak memperhatikan aspirasi daerah, tidak transparan, dan tanpa pembentukan peraturan pelaksana. Disebutkan dalam rentang waktu itu ada penunjukan Pj kepala daerah di  271 wilayah di Indonesia.

“Bagaimana kondisi Indonesia setelah penunjukan penjabat termasuk Papua, saya pikir memang kondisinya akan sangat sentralistik,” ujar Feri Amsari dalam diskusi yang disiarkan kanal Youtube Public Virtue Research Institute (PVRI) dikutip Rabu (25/5/2022).

Feri menjelaskan, meskipun kewenangan Pj kepala daerah dibatasi dengan adanya empat larangan dalam sebuah PP, namun larangan itu dikecualikan apabila mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri (mendagri).

Keempat larangan tersebut adalah yakni (1) melakukan mutasi pegawai; (2) membatalkan perizinan yang telah dibuat pejabat sebelumnya; (3) membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan pejabat sebelumnya; dan (4) membuat kebijakan yang bertentangan dengan program pemerintah sebelumnya.

Hal ini diatur detail dalam Pasal 132A Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Terkait kewenangan pemerintah daerah, Feri mengatakan kondisi sentralistrik telah dirasakan saat Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) disahkan. Menurutnya, dalam UU tersebut, seluruh kewenangan pemerintah daerah ditarik ke pusat.

Dalam kesempatan itu, Feri juga menyinggung pemekaran daerah atau pembentukan DOB di wilayah Papua. Ia menilai, klaim pemerintah pusat yang menerima aspirasi pemekaran wilayah tidak bisa mewakili masyarakat Papua.

Feri melanjutkan, RUU Otsus Papua juga tidak dilengkapi dengan naskah akademik yang menjelaskan hasil penelitian serta kajian yuridis, sosilologis dan filosofis mengenai pemekaran Papua. Menurutnya, yang terjadi justru draf UU Otsus Papua disahkan dalam waktu yang singkat.

“Saya yakin ini ada misi yang disembunyikan, karena mengambang semua. Ini maunya masyarakat Papua, masyarakat yang mana tidak terjawab. Ini untuk kepentingan ekonomi Papua, kajiannya mana tidak terungkap,” katanya.

“Ini demi daerah otonom yang bisa memecah posisi ekonomi sehingga orang bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, mana naskah akademiknya, mana draf Undang-Undangnya yang kemudian bisa dibahas. Ini tidak bisa ujug-ujug,” tambah Feri Amsari. (UWR)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru