JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana pada Kamis (19/5/2022) menyatakan berkas perkara tersangka kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Paniai Papua tahun 2014 dinyatakan lengkap.
Sumedana mengatakan, berkas tersangka yang diketahui berinisial IS tersebut siap diserahkan oleh tim penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dengan begitu, pihaknya tinggal menunggu Tahap 2 untuk selanjutnya disidangkan.
“Tinggal menunggu tahap dua dalam waktu dekat dilakukan. Itu untuk menentukan apakah perkara tersebut sudah memenuhi persyaratan dapat tidaknya dilimpahkan ke pengadilan,” ungkao Sumedana dikutip dari Kompas.id (19/5/2022).
Meskipun begitu, Sumedana belum dapat mengungkapkan nama lengkap tersangka dan akan disampaikan saat proses persidangan dilakukan. Ia menyampaikan, tersangka IS akan diserahkan kepada JPU beserta barang bukti perkara pada akhir Mei ini.
Sumedana menambahkan, perkara ini siap dipersidangkan di Pengadilan HAM Makassar sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal itu sebagaimana wilayah Papua masuk ke dalam wilayah Pengadilan HAM Makassar.
“Rencananya begitu (red, digelar di Makassar),” sambungnya.
Seperti diketahui IS merupakan seorang purnawirawan TNI yang ditetapkan tersangka kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Paniai, Papua pada Jumat (1/4/2022). IS diketahui menjabat sebagai perwira penghubung di Komando Distrik Militer (Kodim) wilayah Paniai pada 2014.
Penetapan tersangka IS berdasarkan pada Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-01/A/Fh.1/04/2022 tanggal 01 April 2022 yang ditetapkan oleh Jaksa Agung RI selaku Penyidik. Adapun Jaksa Agung RI selaku Penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Peristiwa pelanggaran HAM berat Paniai ini terjadi karena tidak adanya pengendalian efektif dari komandan militer. Selain itu juga tidak adanya tindakan komandan militer untuk mencegah dan menyerahkan pelaku untuk diproses hukum sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.
“Peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komandan militer yang secara de yure dan/atau de facto berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya, serta tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukannya dan juga tidak menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,” jelas Sumedana, April lalu.
Ia menambahkan, akibat perbuatan IS ini telah mengakibatkan 4 orang meninggal dunia dan puluhan orang lainnya mengalami luka-luka. Atas perbuatannya, IS disangkakan melanggar Pasal 42 ayat (1) jo. Pasal 9 huruf a jo. Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Pasal 40 jo. Pasal 9 huruf h jo. Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. (UWR)