BerandaEkonomiSinggung Serakahnomics dan Deforestasi, Pemerintah Didesak Evaluasi PSN Perkebunan Tebu di Papua

Singgung Serakahnomics dan Deforestasi, Pemerintah Didesak Evaluasi PSN Perkebunan Tebu di Papua

PAPUA, JAGAMELANESIA.COM –

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) menyoroti pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam sidang pidato kenegaraan dan beberapa pertemuan menyampaikan ungkapan serakahnomics. Ungkapan ini menyinggung keberadaan dan aktivitas bisnis korporasi yang dilandasi keserakahan, melakukan permainan manipulasi, tidak adil dan mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan rakyat.

Berkaitan dengan hal ini, PUSAKA menekankan pentingnya pemerintah menegaskan perekonomian berbasis kerakyatan yang adil dan berkelanjutan. PUSAKA mengecam implementasi kebijakan PSN di tanah Papua, khususnya Merauke.

“Kami Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengecam kebijakan dan praktik PSN (Proyek Strategis Nasional) atas nama pengembangan pangan, energi dan air nasional di Kabupaten Merauke, dengan memfasilitasi pemberian kemudahan dan percepatan pemberian izin perolehan tanah adat dan alih fungsi kawasan hutan skala luas, hal ini menunjukkan praktik serakahnomics. Kesewenang-wenangan Menteri Zulhas dalam mendorong dan menerbitkan perubahan tata ruang, HGU dan perizinan lainnya, adalah wujud serakahnomics dan tidak adil, yang menguntungkan korporasi dengan mengorbankan rakyat,” dikutip dari siaran pers PUSAKA, Senin (6/10/2025).

PUSAKA meminta pemerintah menghentikan pemberian izin pelepasan kawasan hutan skala luas dan praktik ekstraktif sumber daya alam yang merusak lingkungan hidup, yang dilakukan tanpa kajian dan mempertimbangkan keseimbangan ekologis, keberlanjutan sumber daya alam dan kelangsungan hak lintas generasi, yang mengabaikan hak masyarakat adat, hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi segelintir korporasi.

“Kami meminta Presiden Prabowo segera mengevaluasi dan meninjau kembali PSN Merauke yang dikendalikan dan menguntungkan penguasa dan pengusaha serakah, dengan mengorbankan dan menyingkirkan masyarakat adat, dan lingkungan hidup. Pemerintah seharusnya mengambil langkah-langkah efektif untuk pemenuhan dan penikmatan Hak Asasi Manusia, bukan hanya retorika melainkan bertindak untuk menghormati dan melindungi hak masyarakat adat dan lingkungan hidup,” sebutnya lagi.

“Kami juga meminta pejabat pemerintah daerah Kabupaten Merauke dan Provinsi Papua Selatan, untuk aktif menggunakan kewenangan khusus sebagaimana UU Otsus Papua, yang diakui untuk mengatur dan bertindak mengurus kepentingan masyarakat adat, menghormati dan melindungi aspirasi dan hak masyarakat adat terdampak PSN Merauke, mewujudkan perekonomian berbasis kerakyatan yang adil dan berkelanjutan,” lanjutnya.

Lebih lanjut, PUSAKA menyampaikan bahwa pada faktanya, PSN Merauke dilaksanakan tanpa adanya konsultasi dan keterlibatan bermakna masyarakat adat terdampak untuk memberikan persetujuan bebas atas pengembangan PSN Merauke di wilayah adat, yang sejalan dengan prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent).

“PSN Merauke diterbitkan tanpa adanya keterbukaan informasi dan keterlibatan masyarakat adat dalam perolehan perizinan-perizinan lingkungan hidup, pengalihan dan pemanfaatan hak atas tanah adat, perizinan usaha perkebunan dan hak guna usaha, dan sebagainya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan PSN Merauke selama berlangsung lebih dari satu tahun telah menimbulkan kontradiksi dan luka serius yang mencemaskan dan merugikan masyarakat adat korban, terjadi kekerasan dan pemaksaan, penghancuran dan penghilangan sumber pangan, mata pencaharian tradisional (traditional occupation), kerusakan lingkungan dan kehilangan hutan dengan ekosistem penting hingga belasan ribu hektar,” urainya.

Lebih khusus, Vincent Kwipalo melayangkan somasi atau teguran ke perusahaan perkebunan tebu PT Murni Nusantara Mandiri yang dianggap baru saja menyerobot tanah adat suku Yei, Merauke. Sebelum melayangkan somasi, marga Kwipalo berusaha menghentikan ekskavator dan buldoser PT MNM yang hendak membangun akses jalan untuk perluasan perkebunan di wilayah adat yang disebut sebagai ‘Agodai’ tanpa persetujuan pada 15 September 2025 lalu.

Dalam dokumen perencanaan, PT MNM mengantongi izin konsesi seluas 52.700 hektare atau hampir setara dengan luas Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan pemantauan berkala yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, perusahaan perkebunan ini secara keseluruhan telah membongkar hutan seluas 4.912 hektar per Agustus 2025.

Melalui kuasa hukumnya, Vincent Kwipalo manyampaikan sejumlah poin somasi atau teguran kepada PT Murni Nusantara Mandiri agar segera: (1) Menghentikan seluruh aktivitas usaha atau kegiatan di wilayah adat Kwipalo; (2) Berhenti mengancam atau mengintimidasi klien kami untuk terpenuhinya hak atas rasa aman; (3) Meminta maaf secara tertulis atau secara langsung kepada klien kami atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan; (4) Melakukan pemulihan lingkungan atas kerusakaan hutan adat Kwipalo. (UWR)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru