JAGAMELANESIA.COM – Pengesahan RUU tentang penggantian atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi Undang-Undang (UU) melalui Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 pada 3 September 2023 menuai kritik tajam.
Kritik ditujukan pada ketentuan dalam naskah perubahan yang memuat bahwa prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) bisa menempati jabatan ASN tertentu. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 19 draf perubahan UU ASN. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bahkan mengecam poin ketentuan tersebut.
“Kami mengecam keras langkah revisi UU ASN ini yang mana memasukkan ketentuan jabatan ASN tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri. Secara umum, kami melihat hal ini sebagai pembangkangan terhadap hukum dan semangat reformasi yang menghendaki penghapusan dwifungsi ABRI serta penguatan terhadap supremasi sipil,” ujar Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya dalam keterangannya, Rabu (4/10/2023).
“Buruknya legislasi dalam revisi UU ASN ini terlihat dari draf terbaru yang tidak tersedia di website DPR RI. Dalam draf terakhir yang dapat diakses oleh publik, tidak ada bunyi ketentuan perubahan pada Pasal 19 sebagaimana diatur pada draf yang telah disahkan. Pola pengesahan semacam ini di tengah pasal-pasal bermasalah yang masih eksis seringkali dilakukan, sebagai contoh pada pengesahan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan UU Minerba. Fenomena ini kami anggap sebagai berlanjutnya malicious legislation,” sambungnya.
Dimas menilai, dalam aspek substansial, diperkenannya TNI-Polri menduduki posisi pada ASN merupakan jalan pemerintah untuk mengembalikan hantu Dwifungsi TNI/Polri sebagaimana terjadi pada zaman Orde Baru.
Selain itu, menurutnya, TNI/Polri yang menjadi ASN tentu saja menempatkan dua institusi tersebut menjadi lembaga yang jauh dari profesionalitas. Sebab, jika merujuk pada konstitusi, TNI dimandatkan untuk mengurusi bidang pertahanan dan Kepolisian ditugaskan untuk mengurusi keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan justru urusan sipil.
“Di tengah tantangan pertahanan dan keamanan yang semakin berat dalam konteks global, kedua institusi ini malah diperbolehkan menduduki jabatan sipil, alih-alih fokus pada tugas pokok dan fungsi di sektornya masing-masing,” katanya.
Dia menambahkan, ditempatkannya TNI-Polri hanya akan memperparah situasi di tengah problematika kedua institusi yang masih menumpuk, khususnya berkaitan dengan kultur kekerasan.
“Kami pun mengkhawatirkan pendekatan keamanan dan pelibatan pasukan akan semakin masif dilakukan seiring dengan pelibatan TNI menjadi ASN di jabatan tertentu. Sebab dalam berbagai kasus-kasus yang berdimensi sipil seperti konflik lahan, pertambangan, dan kasus sumber daya alam lainnya, keterlibatan aparat justru seringkali berujung dengan kekerasan dan kriminalisasi sipil,” jelasnya.
Lebih lanjut, pihaknya mendesak DPR RI untuk membatalkan pengesahan UU ASN yang memuat prajurit TNI dan Polri bisa menempati jabatan ASN tertentu hal ini untuk menjaga dan menjamin profesionalitas aparat keamanan dalam tugas keamanan dan pertahanan Negara. Selain itu, pemerintah dalam hal ini Presiden RI juga diminta untuk tidak menandatangani dan mengundangkan revisi UU ASN ini hingga muatan pasal 19 tersebut dicabut.
Terkait situasi pertahanan dan keamanan di dalam negeri, Pengamat militer Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati menyampaikan bahwa TNI-Polri harus fokus menyelesaikan masalah separatisme di Papua, terlebih di masa memasuki tahun politik.
“Memasuki tahun politik seharusnya separatisme Papua harus bisa diselesaikan secara tuntas pada tataran nasional dan internasional,” ujar Susaningtyas dalam keterangannya, Rabu (4/10/2023).
“Memasuki 2024 seharusnya TNI fokus berbenah diri untuk bisa menyelesaikan separatisme Papua. Dengan penyelesaian separatisme Papua secara komprehensif, maka kita semua dapat menyelenggarakan tahapan Pilpres, Pileg, dan Pilkada tanpa gangguan stabilitas keamanan dalam negeri sekaligus TNI dapat berkonsentrasi pada geopolitik kawasan,” sambungnya.
Dia meyakini aparat dapat mengatasi perlawanan kelompok separatis di Papua. Ia meminta Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain yang berhasil mengatasi separatisme seperti Inggris menyelesaikan separatisme Irlanda, Spanyol menyelesaikan separatisme Catalunya, dan Sri Lanka menyelesaikan separatisme Tamil.
“Kekuatan separatisme Papua jauh lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan separatisme Irlandia ataupun Tamil, sehingga di atas kertas dapat diselesaikan relatif lebih cepat,” kata Susaningtyas.
Pasalnya, dia menilai keberadaan KST dapat memancing militer negara lain masuk Papua. Hal itu boleh jadi pergerakan separatis Papua ke wilayah NKRI dibungkus dengan isu ‘untuk perlindungan HAM’.
“Separatisme Papua yang tak kunjung tuntas bisa saja memancing kekuatan militer negara lain yang memiliki aset atau investasi di Papua. Dengan alasan melindungi aset dan investasinya, maka kekuatan militer negara tersebut bisa saja masuk ke wilayah NKRI,” ujar Susaningtyas. (UWR)