BerandaHukumKasus Pembunuhan dan Mutilasi di Mimika, Filep Minta Penegakan Hukum Adil dan...

Kasus Pembunuhan dan Mutilasi di Mimika, Filep Minta Penegakan Hukum Adil dan Transparan

JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Kasus pembunuhan 4 Orang Asli Papua (OAP) pada 22 Agustus lalu di Distrik Mimika Baru Kabupaten Mimika, menyisakan duka mendalam bagi OAP di tanah Papua. Pasalnya, pembunuhan yang disertai mutilasi tersebut dilakukan oleh 6 oknum TNI AD Brigif 20/Ima Jaya Keramo. Terkait hal ini, anggota Komisi I DPD RI, Filep Wamafma menyatakan keprihatinannya.

“Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, saya menyatakan keprihatinan dan belasungkawa mendalam atas peristiwa ini. Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Leman Nirigi, mereka mungkin tidak pernah menyangka bahwa tubuh mereka akan dimutilasi seperti itu, apalagi oleh oknum TNI,” kata Filep di ruang kerjanya, Kamis (1/9/2022).

“Selanjutnya, sebagai bagian dari Komite I DPD RI yang membidangi hukum, saya mendorong adanya transparansi dalam penegakan hukum terhadap kasus ini. Sejauh ini saya mengapresiasi langkah TNI, namun perlu diingat juga, catatan Transparansi Internasional menyebutkan bahwa sejak Februari 2018-Juli 2022, ada 61 kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga melibatkan aparat keamanan dengan total 99 korban. OAP akhirnya bertanya-tanya, apakah seperti ini perilaku oknum aparat keamanan? Ini seperti ada oknum psikopat yang tidak tenang melihat OAP hidup dan bertumbuh,” tegas Filep.

Dalam konteks hukum, Senator Papua Barat ini menegaskan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dicabut oleh siapapun karena itu hak dasar yakni hak asasi manusia. “Siapapun, hak untuk hidup termasuk non-derogable rights, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun, termasuk hak untuk bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture),” demikian Filep menjelaskan.

Lebih lanjut, Filep menjelaskan, aturan terkait persoalan itu juga sudah sangat jelas, diantaranya yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi Menentang Penyiksaan atau Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, yang semuanya mengatur dengan jelas tentang Hak untuk Hidup.

“Selain itu, Pasal 28 I Konstitusi juga sudah mengaturnya, yaitu bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Tapi kejadian mutilasi dan pembunuhan ini membuktikan bahwa aturan-aturan itu seperti formalitas saja”, kata Filep yang juga lulusan Doktor Hukum Universitas Hasanuddin ini.

“Kasus ini telah menghilangkan harapan OAP untuk hidup dengan aman dan damai. Perjuangan kami di DPD RI, mengingatkan aparat keamanan agar melakukan pendekatan soft ke OAP, terasa seperti sia-sia, luluhlantak begitu saja,” ungkap Filep.

Ia menuturkan, sejarah OAP selalu penuh dengan keterkaitan emosional dengan aparat keamanan, baik TNI maupun Polri. Terlebih, tindakan keji oknum-oknum dalam kasus ini, benar-benar menghilangkan harapan OAP, terutama di daerah rawan konflik, untuk bisa bertumbuh dengan bahagia di atas tanahnya sendiri.

Filep yang juga pernah menjadi anggota Pansus Papua, berharap agar TNI segera melakukan pembenahan internal. Terutama kejadian ini sangat bertolakbelakang dengan tugas TNI sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.

“Saya sangat berharap agar melalui kasus ini, Panglima TNI mulai melakukan pembenahan internal, sekaligus menjahit kembali hubungan dengan OAP yang sobek. Jangan sampai institusi keamanan menjadi sarang oknum tertentu untuk melakukan kejahatan. Peribahasa lama mengatakan, karena nila setitik rusak susu sebelanga,” kata Filep mengakhiri wawancara.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru