WAMENA, JAGAMELANESIA.COM – Sebanyak 34 anggota Petisi Rakyat Papua (PRP) sempat ditangkap Polres Jayawijaya saat menyebarkan selebaran imbauan aksi penolakan Otsus dan DOB Papua pada Kamis (28/7/2022).
Pembagian selebaran aksi itu dilakukan menyusul imbauan PRP terkait aksi nasional yang digelar keesokan harinya pada Jumat (29/7/2022). Selanjutnya, usai dimintai keterangan 34 anggota PRP kembali dipulangkan oleh pihak Kepolisian.
Menanggapi kejadian penangkapan itu, Theo Hesegem pun angkat bicara. Theo mempertanyakan penangkapan tersebut karena menurutnya pihak kepolisian seharusnya mengedepankan komunikasi sehingga penangkapan tidak perlu terjadi.
“Bagi saya jadi pertanyaan mengapa penangkapan bisa terjadi, sedangkan pada tanggal 26 Juli 2022, saya sudah meneruskan imbauan dalam bentuk video dari PRP kepada Kapolres Jayawijaya. Lalu Kapolres membalas ‘siap bapak dimonitor’ dan kemudian saya menyusul dengan tulisan berikut ‘Saya harap adik-2 korlap diundang dan buat pertemuan sehingga secara dekat mereka bisa sampaikan apa yang menjadi agenda demo’,” ujar Theo dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/7/2022).
Dalam komunikasinya dengan Kapolres Jayawijaya, Theo mengatakan bahwa Kapolres telah mengiyakan permintaanya sehingga ia menghubungi korlap aksi Namene Elopere untuk segera menemui Kapolres. Akan tetapi, menurut Theo, Namene dan rekannya mendatangi Polres dan bertemu dengan Kasat Intel namun tidak bertemu dengan Kapolres Jayawijaya.
“Pada tanggal 26 Juli 2022, adik-adik dari PRP yang dipimpin Namene Elopere sebagai ketua korlap datang ke Polres Jayawijaya, mereka hendak membangun komunikasi dan bertatap muka dengan Kapolres Jayawijaya. Namun, mereka tidak sempat bertemu dengan Kapolres Jayawijaya, akhirnya mereka pulang kembali karena sudah berlarut sore, sekalipun mereka sudah bertemu kasat intel untuk bertemu Kapolres, sehingga menurut saya sebenarnya sudah ada upaya untuk bertemu Kapolres, namun pihak Polres tidak terbuka menerima mereka,” ungkapnya.
“Saya juga kaget setelah saya ditelpon melalui telpon seluler dari adik-adik PRP bahwa kak kami ditangkap oleh anggota Polisi dan kami sedang berada di Polres Jayawijaya. Pesan singkat yang saya sampaikan mengapa kalian ditangkap dan berada di Polres? Jawab mereka, kak kami ditangkap ketika kami sedang membagikan selebaran untuk aksi demo damai yang rencanaya akan dilakukan pada tanggal 29 Juli 2021,” katanya.
Theo menuturkan, dirinya lantas meminta agar Kapolres bisa mengambil kebijakan untuk memulangkan mereka dari Polres Jayawijaya hingga akhirnya 34 orang PRP dipulangkan kembali.
“Saya sebenarnya sangat mengharapkan Kapolres Jayawijaya, mengundang mereka dan bertemu dengan adik-adik yang akan melakukan rencana aksi demo, namun menurut saya masukan saya untuk bertemu dengan adik-adik tidak dilakukan dan dibiarkan begitu saja. Dan kemudian 34 orang ditangkap lalu digiring ke Polres Jayawijaya,” katanya.
“Menurut saya sebagai seorang pemimpin mengajak orang kembangkan dalam diskusi, itu musuh sekalipun, menurut saya upaya yang dilakukan PRP untuk bertemu Kapolres sudah tepat. Mereka tidak dipertemukan dan kemudian mengapa harus main tangkap? Harapan saya sesungguhnya, Kapolres dan adik-adik PRP bertemu Kapolres namun upaya itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan,” imbuhnya.
Theo kemudian mempertanyakan, mengapa Polisi dan TNI menjadi pagar tembok untuk membukamkan demokrasi di tanah Papua. Ia menyebutkan hal itu seolah tidak sesuai dengan Undang-undang Kepolisian nomor 2 tahun 2002.
“Dalam Pasal 13 dapat menjelaskan dengan sangat jelas bahwa tugas pokok kepolisian Negara Republik Kepolisian adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat b. Menegakkan hukum dan c. Memberikan perlindungan, Pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,” katanya.
“Oleh karena itu masyarakat atau aksi masa layak memberitahukan kepada pihak kepolisian, untuk mengawal dan mengamankan setiap kegiatan yang akan dilakukan oleh masyarakat, dan polisi bukan menjadi tembok penghalang masyarakat agar tidak menyampaikan pendapat di muka umum,” tambahnya. (UWR)