JAGAMELANESIA.COM – Penyematan status KKB sebagai teroris oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, melalui konferensi pers di Jakarta pada Kamis (29/4) lalu menuai banyak reaksi dari berbagai kalangan.
Reaksi keras datang dari Herman Wainggai, salah satu pemimpin politik Organisasi Papua Merdeka yang dikenal sebagai salah satu organisasi gerakan perlawanan rakyat Papua Barat, West Papua National Authority atau otoritas nasional Papua Barat Merdeka. Melalui video pribadinya yang diunggah pada Sabtu (1/5) pada akun Facebooknya, Wainggai mempertanyakan definisi teroris yang disematkan terhadap KKB.
“Kalau hari ini kita berbicara tentang definisi teroris yang identik dengan tindakan kekerasan, pertanyaan saya untuk pemerintah Indonesia, siapa sesungguhnya yang melakukan kekerasan? kami rakyat Papua Barat, Organisasi Papua Merdeka, sejumlah organisasi-organisasi perlawanan rakyat di tanah air (red: melanesia) yang melakukan kekerasan atau anggota polisi, tentara atau dikenal dengan ABRI yang melakukan kekerasan atas nama negara kepada rakyat Papua Barat sejak 1 Mei 1963?” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan mengenai transparansi penegakan hukum oleh pemerintah Indonesia termasuk sejak rezim Soeharto pada 1963 lalu. Wainggai mengatakan bahwa rakyat Papua Barat juga mengalami impunitas atau kondisi tidak dapat dipidanakan (nirpidana) terhadap pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu.
“Presiden Indonesia hari ini Bapak Ir. Joko Widodo, pertanyaan saya juga kepada bapak presiden sesungguhnya Siapa yang melakukan kekerasan yang lebih banyak kepada kami rakyat Papua Barat? Kami berjuang untuk penegakan hukum yang dimana saudara-saudara di Indonesia selalu membanggakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tapi penegakan hukum dimana secara transparan? Kami mengalami impunity atau budaya kekerasan itu dipelihara selama kurang lebih 58 tahun sampai hari ini,” tegasnya.
Selain itu, Wainggai juga menyebutkan dua perjanjian internasional yaitu perjanjian New York 15 Agustus tahun 1962 dan Perjanjian Roma 30 September 1962 yang menurutnya menjadi latar belakang integrasi Papua Barat kepada Indonesia.
Ia mengatakan bahwa dalam dua perjanjian tersebut, rakyat Papua Barat tidak dilibatkan dan Indonesia seharusnya mempersiapkan Papua Barat untuk merdeka sebagaimana perjanjian itu dimulai sejak 1 Mei 63 sampai 1 Mei 1988. Hal itu yang menurut Wainggai yang terus diperjuangkan oleh rakyat Papua Barat hingga hari ini.
“Sejak awal Indonesia masuk ke tanah air (red: melanesia), Papua Barat tidak pernah dilibatkan di dalam perjanjian internasional itu yang dibuat bersifat sementara yaitu 25 tahun rakyat Papua Barat dikuasai oleh pemerintah Indonesia. Maka seharusnya setelah 25 tahun pemerintah Indonesia harus mengakui perjuangan Papua Barat untuk merdeka untuk berpisah untuk sendiri,” tambahnya.