BerandaLingkunganMasyarakat Sipil Boikot Perdagangan Karbon, Minta Percepat Pengakuan Wilayah Adat dan Wilayah...

Masyarakat Sipil Boikot Perdagangan Karbon, Minta Percepat Pengakuan Wilayah Adat dan Wilayah Kelola Rakyat

JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Masyarakat sipil yang terdiri dari WALHI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Yayasan PUSAK, PIKUL, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Sekolah Ekonomi Demokratik (SED) dan Greenpeace menyampaikan Surat Bersama Atas Perdagangan Karbon di Jakarta (18/9/2023).

Masyarakat menolak perdagangan karbon dan mendesak adanya percepatan pengakuan wilayah adat serta wilayah kelola rakyat.

“Melalui surat terbuka ini kami warga negara Indonesia yang berhimpun dalam berbagai organisasi kemasyarakatan menegaskan, bahwa kami menolak perdagangan karbon sebagai jalan yang diambil pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis iklim,” bunyi penggalan surat tersebut dikutip Rabu (27/9/2023).

Perdagangan karbon dinilai hanyalah cara untuk mengamankan rezim industri ekstraktif serta finansialisasi alam, yang faktanya selama ini menjadi penyebab utama krisis iklim dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

“Roh utama dari perdagangan karbon adalah “penyeimbangan” atau “offset”. Di mana, satu korporasi atau negara-negara Annex I masih tetap boleh melepaskan emisi dari aktivitas ekstraksi dan industrialisasi, bahkan melampaui batasan emisi (cap) asalkan melakukan penyeimbangan karbon dengan cara membeli karbon di pasar karbon,” sebutnya.

“Sudah seharusnya solusi berfokus pada pengurangan emisi untuk memastikan suhu global berada di bawah 1,5 derajat celcius, sehingga tidak ada cara lain untuk mengatasi krisis iklim selain pengurangan emisi bahan bakar fosil secara segera dan besar-besaran, bukan menggantinya dengan solusi teknokratis sekedar menanam pohon. Melindungi hutan dan memulihkan ekosistem alami sangatlah penting bagi keanekaragaman hayati dan iklim, namun kita harus melakukan hal tersebut dengan mengurangi emisi secara langsung, bukan sebagai penggantinya,” sambungnya.

Lebih lanjut, gabungan organisasi kemasyarakatan ini menilai carbon trading dan offset ini dipandang sebagai solusi yang cepat dan murah oleh perusahaan dan pemerintah, namun banyak proyek penggantian kerugian karbon berjalan dengan klaim yang meragukan, bahkan salah dengan menggantinya dengan narasi sekedar permasalahan teknis penyeimbang carbon (nett zero atau carbon neutral) di atmosfer.

“(Hal ini) adalah kebohongan yang berbahaya bagi masa depan planet bumi. Maka secara sederhana, perdagangan karbon hanyalah izin untuk tetap terus melepas emisi, dan izin untuk tetap terus melanggar Hak Asasi Manusia,” katanya.

Kedepalan organisasi di atas mendesak 4 poin kepada pemerintah, antara lain:

1. Menghentikan Operasionalisasi Perdagangan Karbon.

2. Mempercepat dan Memperluas Pengakuan Serta Perlindungan Wilayah Kelola Rakyat dan Wilayah Adat.

3. Penurunan Emisi Secepatnya dan Secara Drastis

4. Pemulihan Ekologis dan Peningkatan Kemampuan Adaptif Rakyat

“Artinya, sudah seharusnya pemerintah belajar, menghormati dan mengadopsi adaptasi berbasis pengetahuan tradisional, pengetahuan masyarakat hukum adat dan sistem pengetahuan lokal menjadi arus utama dari kebijakan dan aksi iklim di Indonesia. Meningkatkan kemampuan adaptif rakyat juga harus dilakukan oleh negara dengan cara tidak memberikan beban tambahan bagi rakyat lewat penggusuran untuk proyek-proyek investasi dengan dalih kepentingan ekonomi nasional,” tutupnya. (UWR)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru