JAGAMELANESIA.COM – Persoalan lingkungan hidup masih menjadi problematika tersendiri di tanah Papua. Hutan Papua yang memiliki total luas mencapai sekitar 94,1 juta hektare atau sekitar 50,1 persen dari total luas hutan di Indonesia terancam terus mengalami deforestasi. Pasalnya, data Greenpeace menyebutkan, sebanyak 20 persen lahan di wilayah Papua telah terbebani oleh aktivitas industri berbasis lahan.
Dalam kampanyenya, Greenpeace Indonesia mengungkapkan deforestasi yang terjadi di Papua berdampak pada semakin terkikisnya budaya asli Papua. Kondisi tersebut terjadi sebagai akibat dari peningkatan industri berbasis lahan di wilayah Papua.
“Karena digunakan untuk industri berbasis lahan seperti kelapa sawit, hutan tanaman industri maupun pertambangan,” ujar Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Indonesia, Nico Wamafma dalam Festival Ranipa, Jakarta, dikutip, Sabtu (18/3/2023).
Terkait hal itu, Nico menerangkan, deforestasi dapat mengikis eksistensi unsur-unsur budaya masyarakat adat yang sangat lekat dengan sumber daya alam, terutama hutan. Keberadaan dan ketersediaan sumber daya alam ini sangat penting bagi masyarakat adat utamanya dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari mulai dari bahan pangan hingga ragam kerajinan masyarakat Papua.
Oleh sebab itu, apabila SDA tersebut lambat laun semakin terkikis, maka semakin jelas ancaman bagi eksistensi budaya asli Papua terutama keberadaan masyarakat adat Papua.
“Bahkan 2,7 juta hektar dari total 35 juta hektar tutupan hutan alam di Tanah Papua terancam deforestasi,” jelasnya.
Selain itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua menyebutkan bahwa 40 persen hutan primer Indonesia bahkan ada di Tanah Papua. Hutan Papua disebut merupakan satu-satunya hutan di Indonesia yang memiliki tingkat keragaman hayati tertinggi di Dunia, dengan 20 ribu spesies tumbuhan, 602 jenis burung, 125 jenis mamalia dan 223 jenis reptil.
Dalam semangat yang sama, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Papua Maikel Primus Peuki mengatakan, Walhi Papua mendesak pemerintah daerah di Tanah Papua untuk berkomitmen melindungi hutan dan lingkungan hidup, terutama untuk eksistensi masyarakat adat.
Maikel mengatakan, hutan di Tanah Papua banyak mengalami kerusakan akibat gencarnya ekspansi perkebunan sawit, pertambangan dan proyek industri ekstraktif serta kegiatan investor lainnya yang izinnya dikeluarkan pemerintah pusat.
“Begitu pentingnya hutan bagi kehidupan manusia, apalagi hutan sebagai sumber utama mata pencaharian bagi masyarakat adat di Tanah Papua. Sehingga pemerintah berkewajiban untuk melindungi hutan Papua. Komitmen pemerintah harus dibuktikan secara nyata melalui kebijakan,” kata Maikel, dalam siaran persnya, 2 Maret 2023 kemarin.
Maikel menekankan, pemda di tanah Papua harus melibarkan masyarakat adat dalam penyusunan rencana pembangunan jangka panjang, kajian lingkungan hidup strategis, perencanaan tata ruang wilayah kota, analisis mengenai dampak lingkungan dan dokumen perencanaan lainnya.
“Baik itu lembaga masyarakat, organisasi lingkungan dan bahkan masyarakat adat Papua yang masih eksis berada dalam lokasi strategis di Tanah Papua.”
Persoalan transparansi dan partisipasi masyarakat adat inilah yang diantaranya disuarakan oleh masyarakat adat di Papua yakni pemimpin marga Woro yang merupakan bagian dari Suku Awyu Kampung Yare, Distrik Fofi, Boven Digoel yang baru-baru ini mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.
Pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu Hendrikus ‘Franky’ Woro melayangkan gugatan itu lantaran pemerintah daerah diduga menutup informasi tentang izin-izin PT IAL yang konsesinya akan mencaplok wilayah adat mereka. Gugatan ini menyangkut izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL).
“Kami sebagai pemilik wilayah adat tidak mendapatkan informasi tentang rencana aktivitas perusahaan. Kami juga tidak dilibatkan saat penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal),” kata Franky Woro, dikutip dalam siaran pers Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua, Senin (13/3/2023).
Dalam gugatan ini, Franky Woro memohon majelis hakim untuk memerintahkan pencabutan izin kelayakan lingkungan hidup PT IAL. Pasalnya, upaya masyarakat Suku Awyu mencari informasi sudah berlangsung sejak awal tahun lalu. Franky bersama komunitas Cinta Tanah Adat yang merupakan komunitas paralegal yang beranggotakan warga Suku Awyu telah meminta penjelasan dari sejumlah dinas, baik di Kabupaten Boven Digoel maupun Provinsi Papua.
Pada Juli 2022, Franky menyampaikan permohonan informasi publik untuk mengetahui perizinan PT IAL. Sayangnya, Dinas Penanaman Modal dan PTSP Provinsi Papua tak memberikan informasi yang diminta, dan justru mensyaratkan sejumlah dokumen yang memberatkan pemohon. Selain itu, sebelumnya upaya Franky menggugat Dinas Penanaman Modal dan PTSP ke Komisi Informasi Publik Provinsi Papua pun tak berhasil. (UWR)