JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Proses hukum kasus pelanggaran HAM berat Paniai Papua terus berjalan. Penyidik Direktorat Pelanggaran HAM Berat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung telah melimpahkan tersangka IS dan barang bukti kasus tersebut ke Jaksa Penuntut Umum.
“Penyidik menyerahkan tanggung jawab tersangka serta barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum Direktorat Pelanggaran HAM Berat Jampidsus. Tahap II dilaksanakan secara virtual (Zoom meeting) pada pukul 09.00 WIB pagi tadi,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Ketut Sumedana di Jakarta, Selasa (24/5/2022).
“Selanjutnya, Penuntut Umum segera menyusun surat dakwaan dan melimpahkan berkas perkara a quo ke Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Makassar,” sambung Ketut.
Dalam pelimpahan itu, tersangka IS yang didampingi oleh penasihat hukumnya dilakukan pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Biak Numfor. Sedangkan pemeriksaan barang bukti dilakukan di Gedung Bundar Jampidsus.
IS disangkakan melanggar, pertama; Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan kedua; Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Diketahui IS merupakan seorang purnawirawan TNI yang ditetapkan tersangka kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Paniai, Papua pada Jumat (1/4/2022). IS diketahui menjabat sebagai perwira penghubung di Komando Distrik Militer (Kodim) wilayah Paniai pada 2014.
Penetapan tersangka IS berdasarkan pada Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-01/A/Fh.1/04/2022 tanggal 01 April 2022 yang ditetapkan oleh Jaksa Agung RI selaku Penyidik. Adapun Jaksa Agung RI selaku Penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Peristiwa pelanggaran HAM berat Paniai ini terjadi karena tidak adanya pengendalian efektif dari komandan militer. Selain itu juga tidak adanya tindakan komandan militer untuk mencegah dan menyerahkan pelaku untuk diproses hukum sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.
“Peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komandan militer yang secara de yure dan/atau de facto berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya, serta tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukannya dan juga tidak menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,” jelas Sumedana, April lalu. (UWR)