Oleh: Umiyati Do Usman, Formateur Ketua Kohati HMI Cabang Ternate
Tepat pada 21 April 1879, atau kurang lebih 146 tahun yang lalu di balik dinding pingitan dan keheningan sebuah istana kecil, lahirlah suara yang tak bisa dibungkam. Suara seorang perempuan muda yang berani bermimpi, dimana saat itu bermimpi saja adalah hal yang dilarang bagi kaumnya. Ia adalah Raden Ajeng Kartini, perempuan Jawa yang mengubah dunia dengan pena dan pikirannya.
Kartini hidup di tengah budaya yang mengikat perempuan dengan aturan-aturan kaku, seperti tidak boleh sekolah tinggi, tidak boleh berbicara terlalu lantang, dan tidak boleh melangkah terlalu jauh, sehingga perempuan pada masanya hanya dipandang sebagai pelengkap bukan pelaku. Namun, Kartini melihat dunia dengan mata yang berbeda. Ia bertanya, mengapa perempuan tidak boleh bermimpi seperti laki-laki dan mengapa pendidikan hanya milik sebagian manusia?
Lewat surat-suratnya yang tajam dan menyentuh, Kartini, menggugat ketidakadilan budaya yang selama ini diterima begitu saja. Ia menulis dengan hati yang gelisah, namun penuh harapan. Dalam keterbatasannya, ia membangun dunia yang luas melalui kata-kata, dunia di mana perempuan bisa memilih jalan hidupnya sendiri, berdiri sejajar, dan dihargai bukan karena statusnya, tapi karena pikirannya.
Kartini tak hanya bermimpi, ia bertindak. Ia mendirikan sekolah bagi perempuan dan menanamkan benih perubahan yang kini tumbuh menjadi hutan harapan. Perjuangannya tak sia-sia. Kini, perempuan Indonesia bisa menjadi pemimpin, ilmuwan, seniman, dan apapun yang mereka cita-citakan, semua itu karena adanya, Kartini, yang dulu berani bersuara dari balik sunyi.
Hari ini, Kartini, bukan sekadar nama dalam sejarah. Namun ia adalah semangat yang hidup dalam setiap langkah perempuan yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Kartini adalah kita, dan setiap langkah perempuan Indonesia hari ini dalam pendidikan, pekerjaan dan kehidupan sosial adalah bukti bahwa adanya “Habis Gelap Terbitlah Terang”, itu nyata adanya.