PAPUA, JAGAMELANESIA.COM – Masuknya investasi bisnis atau perusahaan ke dalam wilayah adat masyarakat masih menyisakan persoalan. Belakangan masyarakat adat kerap kali bersuara baik melalui aksi demonstrasi hingga melayangkan gugatan lantaran merasa tak dilibatkan atau bahkan dirugikan atas kehadiran perusahaan di wilayah adat mereka.
Diantaranya adalah perjuangan masyarakat marga Woro dari Suku Awyu yang melayangkan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.
Gugatan itu teregister dengan Nomor Perkara 6/G/LH/2023/PTUN.JPR yang menyangkut izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PTIAL).
Pejuang lingkungan hidup, pemimpin marga Woro dari Suku Awyu, Hendrikus ‘Franky’ Woro sebagai pemilik wilayah adat tidak mendapatkan informasi tentang rencana aktivitas perusahaan.
“Kami juga tidak dilibatkan saat penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL),” ujar Franky dalam keterangannya, dikutip Sabtu (7/10/2023).
Sidang gugatan yang dilayangkan Franky sejak tujuh bulan lalu itu saat ini telah memasuki fase mendengarkan pendapat ahli pada Kamis, 5 Oktober 2023. Dr. Totok Dwi Diantoro, S.H., M.A, ahli hukum lingkungan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada hadir dan memberikan keterangannya.
Disebutkan, hutan dan tanah adat merupakan lebensraum atau ruang hidup bagi masyarakat adat. Oleh karenanya partisipasi publik jadi penting untuk dipastikan dalam setiap proyek pembangunan. Sebelum menerbitkan keputusan, Pejabat Tata Usaha Negara harus menerapkan asas kehati-hatian dan partisipasi bermakna. Partisipasi tidak hanya di dengar tetapi hingga dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
Lebih lanjut, Dr. Totok menjelaskan, AMDAL merupakan kajian, studi ilmiah yang dijadikan referensi dalam pengambilan keputusan. AMDAL adalah bagian dari prosedur dalam perizinan. Menurutnya, sebagai dokumen ilmiah maka diperlukan kejujuran dan objektivitas dalam proses penyusunan analisis dampak lingkungan (AMDAL).
Hal itu lantaran dapat terjadi peluang AMDAL bermasalah jika dilakukan dengan manipulasi data maka konsekuensinya legalitas AMDAL tidak sah.
“Dalam prinsip kehati-hatian, Pejabat Tata Usaha Negara wajib dengan cermat dan bijaksana terhadap proses dan kajian AMDAL yang telah dibuat karena dalam proses amdal itu masih ada kemungkinan keliru,” ujar Totok Dwi Diantoro.
Dia juga menjelaskan FPIC atau persetujuan awal tanpa paksaan merupakan hak asasi masyarakat adat yang berkaitan dengan masyarakat adat, sebelum izin diberikan maka pemberian informasi hingga persetujuan harus didapatkan terlebih dahulu.
“Jika hal ini tidak dilakukan maka terjadi pelanggaran terhadap hak masyarakat adat. Termasuk memperhatikan kebijakan internasional yang telah diadopsi Indonesia dalam mengatasi krisis iklim, pemerintah harusnya memasukan instrumen ini dalam AMDAL,” jelas Dr. Totok.
Atas keterangan ahli tersebut, Tim Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, Tigor Hutapea dari, mengutarakan keterangan ahli hari ini sesuai dengan argumentasi yang diajukan Penggugat dalam gugatan.
“Kami berharap majelis hakim dapat terbuka dan memberikan putusan bagi Penggugat,” katanya.
Persidangan akan dilanjutkan dengan agenda kesimpulan pada tanggal 19 Oktober 2023 secara Ecourt, setelah itu majelis hakim akan mengambil keputusan. Dalam sidang ini Gerakan Solidaritas Untuk Selamatkan Hutan Adat Papua mengirimkan surat dukungan yang ditujukan kepada majelis hakim, surat ini berisi dukungan dari 73 lembaga dan 94 individu.
“Ini adalah momen bersejarah bagi masyarakat adat di Papua untuk bangkit bersama-sama mempertahankan hutannya, bukan untuk dirinya sendiri tapi untuk kelanjutan kehidupan bumi yang sedang mengalami krisis iklim ini,” kata Emanuel Gobay, Direktur LBH Papua sekaligus bagian dari Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua. (UWR)