BINTUNI, JAGAMELANESIA.COM – Perwakilan pemuda suku Kuri di Kabupaten Teluk Bintuni, Maikel Werbete meminta masyarakat adat dilibatkan dalam penetapan harga kayu. Menurutnya pemerintah dan investor atau pihak perusahaan sudah semestinya menghargai hak-hak masyarakat adat selaku pemilik hak ulayat.
Hal ini disampaikan Maikel usai memperoleh informasi tentang ketetapan harga kayu sebesar Rp 200.000,- per kubik saat pertemuan dengan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat pada Senin (31/7/2023). Dia menuturkan, pejabat terkait menyebut harga tersebut akan diajukan ke penjabat gubernur untuk dikeluarkan SK persetujuan.
Ia menilai harga tersebut terlalu rendah dan tidak menguntungkan masyarakat adat, sehingga dirinya meminta pihak-pihak terkait dapat duduk bersama dengan masyarakat adat dan membicarakan tentang penetapan harga kayu.
“Ketetapan harga kayu oleh Dinas Kehutanan Rp. 200.000,- per kubik ini terlalu rendah. Jadi masyarakat adat Kuri minta duduk bersama, jangan diputuskan sepihak. Pasalnya, setelah masyarakat pemilik hutan kayu mendengar ini, timbul pertanyaan dan terjadi perbincangan di lingkup para petuwanan terhadap ketentuan harga yang menurut masyarakat diputuskan sepihak dan tidak melibatkan para masyarakat adat terutama petuwanan,” kata Maikel pada media ini.
“Harga kayu senilai ini apakan Dinas Kehutanan sudah duduk bersama masyarakat adat melalui gelar adat untuk memutuskan sepakat dengan harga ini atau tidak. Jika tidak maka ini sebuah pelanggaran adat dan juga tidak sah. Karena masyarakat pemilik hutan adat menjadi tujuan investasi, maka pemerintah sekiranya bisa menghargai hak-hak masyarakat adat,” ujarnya lagi.
Maikel berharap agar Pj Gubernur dapat mempertimbangkan terlebih dahulu ketetapan harga yang diajukan dinas terkait. Selain itu, ia berharap agar masalah harga kayu tersebut dikembalikan kepada keputusan petuwanan melalui rapat adat atau keputusan adat. Menurutnya, melalui mekanisme ini, keputusan penetapan harga hasil hutan kayu juga pro rakyat.
“Alasan lain mengapa kami pemilik hak wilayat hutan menyarankan agar tinjau kembali harga kayu, karena harga yang ditetapkan tidak sebanding dengan kayu yang diproduksi atau dikeluarkan dari hutan Papua. Sehingga kami berharap dinas terkait dapat duduk bersama masyarakat adat mendengar apa kata masyarakat pemilik hak wilayat hutan kayu sehingga benar-benar keberpihakan kebijakan pemerintah itu menyentuh pada hak dasar orang Papua, atau boleh saya bilang dari rakyat dikembalikan untuk rakyat, jangan terbalik,” ungkap Maikel.
“Harusnya investasi yang masuk ke daerah benar-benar pro rakyat, salah satunya hentikan pengiriman kayu bulat dari Papua Barat ke Kabupaten Serui oleh perusahan kayu. Dan bangun pabrik kayu di Papua Barat sehingga memberi pendapatan bagi daerah khususnya bagi masyarakat adat dan akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Dengan begitu, juga akan menjawab angka pengangguran,” jelasnya.
Lebih lanjut, Maikel menegaskan apabila kehendak masyarakat Kuri tersebut tidak direspons baik, maka semua aktivitas perusahaan akan lumpuh total dan pihak perusahaan akan terkena demurrage.
“Jadi sebaiknya, mari pemerintah dalam hal ini melalui Sekretaris Daerah Papua Barat bisa lakukan harmonisasi dan hearing program antar dinas terkait melibatkan masyarakat adat. Dan mari kita memberi pemahaman agar masyarakat adat pemilik hutan kayu juga bisa bertindak sebagai pemegang saham dari semua jenis investasi baik hutan kayu, minyak, gas, batu bara, emas dll. Sehingga orang Papua bisa menjadi tuan di negerinya sesuai amanat Otsus,” tutupnya. (MW)