SORONG, JAGAMELANESIA.COM – Pengadilan Negeri (PN) Sorong telah melanjutkan sidang perkara terdakwa Melkyas Ky dengan agenda Pembelaan (pledoi) yang diajukan oleh Tim Kuasa Hukum dari Tim Hukum PAHAM Papua. Pembelaan itu berisi tentang paparan pendapat hukum atas kebenaran materiil alias fakta sidang dari peristiwa pembunuhan 4 anggota TNI Pos Koramil, Kisor, Maybrat pada 2 September 2021 lalu.
Dalam pledoinya, Tim Kuasa Hukum, Advokat PAHAM Papua, Yohanis Mambrasar berharap majelis hakim dapat melihat posisi terdakwa dalam perkara ini berdasarkan pemeriksaan terhadap terdakwa, saksi-saksi dan bukti-bukti, serta dapat memutuskan perkara ini secara benar dan adil.
“Hakim harus membebaskan Melkyas Ky, itu lah pokok permohonan pada Pembelaan (Pledoi) yang diajukan oleh kami Tim Kuasa Hukum Melkyas Ky kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara No: 244/ Pid.B/2022/PN Son dengan terdakwa Melkyas Ky, seorang warga sipil Maybrat, Papua Barat, korban salah tangkap aparat kepolisian, yang dikriminalisasi melalui proses hukum perkara ini,” ujar Yohanis Mabrasar dalam keterangan tertulis, Jumat (20/1/2023).
Tim Hukum berpendapat bahwa tuduhan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak benar yang disimpulkan dari adanya fakta-fakta persidangan, melalui bukti-bukti yang terungkap pada keterangan saksi-saksi, alat bukti dan juga pengakuan terdakwa.
“Apakah Melkyas Ky terbukti meyakinkan bersalah telah melakukan kejahatan pembunuhan sebagaimana dituduhkan oleh JPU atau tidak, sehingga apakah Melkyas Ky harus dihukum atau ia harus dibebaskan?” tambahnya.
Lebih lanjut, tim kuasa hukum berpendapat bahwa telah terungkap dengan jelas dalam sidang ini bahwa Melkyas Ky tidak bersalah, ia tidak terlibat sebagai pelaku atau juga turut serta melakukan atau terlibat dalam pembunuhan 4 anggota TNI Pos Koramil, Kisor, Maybrat, yang terjadi pada 02 September 2021, di Kampung Kisor, Kabupaten Maybrat, Papua Barat.
“Ini merupakan kebenaran materi, fakta sidang dari persidangan perkara ini. Kebenaran materi ini terungkap dari keterangan 7 Saksi kunci (6 anggota TNI dan 1 anggota Polisi, yaitu Muhamad Iqbal Abdullah, Catur Prasetyo Utomo, Roland Jhonatan Hindom, Farhandani Abyanto, Imanuel Wenatubun, Edmon Freyuk Hukubun dan Juliano Askuriadi) yang tidak bersesuaian, ini terungkap pada keterangan mereka secara langsung dalam sidang dan juga ketidaksesuaian keterangannya dalam sidang dengan keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan,” terangnya.
“Juga dikuatkan dengan keterangan saksi Mahkota Maikel Yaam dan Robianus Yaam yang mengaku keterangannya dikepolsian yang dijadikan dasar untuk penetapan Melkyas Ky sebagai tersangka dilakukan dalam keadaan dirinya disiksa oleh penyidik,” ujarnya lagi.
Selain itu, kuasa hukum berpendapat bahwa tuduhan JPU terhadap Melkyas Ky dalam tuntutannya tidak didasarkan pada keterangan saksi yang kuat dan sah, yakni ‘keterangan yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri, dan juga alami sendiri mengenai suatu peristiwa pidana’ sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP.
“Oleh sebabnya sudah menjadi keharusan Hakim untuk memutus bebas Melkyas Ky dari segala tuduhan dan tuntutan yang diajukan oleh JPU dalam sidang perkara ini. Melkyas Ky sejatinya merupakan korban salah tangkap aparat kepolisian Sorong Selatan dalam proses hukum peristiwa pembunuhan 4 anggota TNI Pos Koramil Kisor dimaksud, ia kemudian dikriminalisasi melalui proses penyelidikan di tingkat kepolisian dan kejaksaan, lalu disidangkan di Pengadilan Negeri Sorong, dengan dasar berkas perkara yang direkayasa,” ucapnya.
Yohanis menyebut Melkyas Ky merupakan korban dari politik kebijakan aparat keamanan dalam merespons konflik Maybrat, dalam hal mengendalikan konsen publik, dan juga mengendalikan situasi keamanan wilayah.
Menurutnya, penangkapan Melkyas Ky dan 8 orang warga Maybrat lainnya merupakan bagian dari muatan tindakan klarifikasi publik, yaitu aparat menangkap dan memproses hukumnya sebagai cara untuk menjawab publik atas kinerjanya dalam meredam dan mengendalikan situasi keamanan wilayah konflik, yakni pengendalian warga setempat.
“Ini dapat dilihat dari penangkapan Melkyas Ky cs yang dilakukan secara tidak sesuai prosedur, dan juga proses hukumnya yang penuh dengan rekayasa. Politik klarifikasi publik oleh aparat keamanan dengan menangkap sembarang warga sipil tak bersalah pasca konflik telah lama diterapkan oleh aparat keamanan dan termasuk melibatkan lembaga peradilan di Papua,” katanya.
“Praktek-praktek ini dapat dijumpai dalam kasus Mispo Gwijangge dalam proses hukum peristiwa Konflik Nguga 2018, juga Penangkapan Bucktar Tabuni, Agus Kosai, dan Steven Itlai dalam kasus konflik Rasisme 2019,” tutupnya. (UWR)