PAPUA BARAT, JAGAMELANESIA.COM – Masyarakat adat Suku Besar Kuri mengecam keras rusaknya dua kawasan hutan sakral di dataran Kuri yang termasuk dalam Kawasan Konservasi Tinggi yakni Telaga Awan dan Gereja Daun.
Masyarakat menuntut keras PT. Wijaya Sentosa dan PT. Wukira Sari untuk bertanggungjawab akibat kelalaian yang dilakukan dengan menghijaukan kembali (reboisasi) hutan tersebut. Pihak perusahaan juga dituntut untuk segera menghentikan pembangunan kantor PT. Wukira Sari di lokasi tersebut. Hal ini disampaikan dengan tegas oleh Maikel Werbete selaku pemuda Suku Kuri
“Saya berada di lokasi dan melihat sendiri masalah ini. Para tokoh pemuda dan tokoh adat yang ada juga mengeluhkan rusaknya hutan mereka dan mengecam pembangunan kantor itu. Hanya mereka tidak tahu mau memulai darimana, mengeluh kepada siapa lagi,” ujar Maikel, Rabu (9/11/2022).
Maikel mengaku bahwa dirinya juga telah berupaya untuk menemukan solusi dari permasalahan tersebut. Ia mendampingi tim dari Dinas Kehutanan dan pihak perusahaan untuk memeriksa lokasi Telaga Awan. Pada kesempatan itu, dirinya meminta untuk adanya reboisasi kawasan tersebut, namun hingga kini belum juga dilakukan.
“Saya minta agar kawasan ini bisa dihijaukan kembali namun hingga saat ini belum juga hijau. Ini jadi masalah juga,” kata Maikel.
Lebih lanjut Maikel menuturkan, ketua Marga Besar Pigo yakni Oktovianus Pigo yang mendiami pinggiran kali Kuri berharap kepada pihak-pihak terkait untuk membantu menyelesaikan persoalan tersebut. Ia mengharapkan hutan adat itu masih dapat diselamatkan lantaran merupakan hutan keramat bagi masyarakat setempat.
“Kitorang mau bicara tapi perusahan ini perusahan besar baru bapa torang ini tidak tahu cara bagaimana. Apalagi aturan sudah banyak, kitorang ini tidak sekolah, jadi bapak harap anak bisa urus barang ini sehingga kita punya hutan keramat ini bisa hijau kembali,” ungkap Oktovianus Pigo.
Hal yang sama juga diungkapkan Ruben Pigo yang merupakan pemuda dari Suku Kuri. Ia meminta agar pihak perusahaan secepatnya menyelesaikan masalah itu dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.
“Ini kayu sudah diangkut tapi belum juga dibayar. Ini bagaimana. Kami rasa perusahaan mempermainkan kita,” ungkap Ruben Pigo. (MW)