JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Di tengah persiapan peresmian 3 provinsi baru di Papua, muncul gugatan dari seorang warga Dogiyai terkait 3 UU yakni UU Nomor 14/2022 tentang Papua Selatan, UU Nomor 15/2022 tentang Papua Tengah dan UU Nomor 16/2022 tentang Papua Pegunungan.
Ramos Petege mengajukan judicial review atas 3 UU itu karena dinilai cacat formil. Adapun berkas judicial review itu juga telah diterima Mahkamah Konstitusi (MK) dan diproses kepaniteraan MK.
“Menyatakan UU 14, 15, 16 Tahun 2022 bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi petitum Ramos Petegege dikutip dari detik, Kamis (8/9/2022).
Dalam permohonannya, Ramos menyantumkan 3 alasan ketiga UU itu tidak memenuhi syarat formil pembentukan UU. Pertama, UU pemekaran Papua tidak partisipatif yakni tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020.
Dalam putusan itu disebutkan bahwa partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation). Terdapat 3 prasyarat untuk mewujudkan partisipasi yang bermakna tersebut yaitu (1) hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); (2) hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan (3) hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
Ramos selaku pemohon menilai pembentuk ketiga UU a quo dalam hal ini tidak menerapkan Pasal 96 UU 12/2011 tentang Partisipasi Masyarakat secara bermakna dengan tepat dan sudah seharusnya cacat formil dalam pembentukannya.
Alasan yang kedua adalah 3 UU pembentukan provinsi baru itu tidak disertai Naskah Akademik sehingga bertentangan dengan Pasal 43 ayat (3) UU 12/2011 dimana RUU yang berasal dari DPR, Presiden dan DPD harus disertai Naskah Akademik.
Selanjutnya, alasan yang ketiga yakni terkait dengan tahapan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU. Dalam melakukan pemekaran, pemerintah bersama DPR sudah seharusnya memperhatikan beberapa 3 aspek diantaranya adalah kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.
“Akan tetapi secara implementatif keberadaan UU a quo justru menimbulkan ketidaksetujuan dan penolakan dari masyarakat akan adanya pemekaran provinsi papua melalui ketiga UU a quo, tentu saja pembentukan ketiga UU a quo tidak terdapat urgensi yang jelas dan tidak memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat,” ujar Ramos.
Selain itu, Ramos menambahkan bahwa keberadaan 3 UU ini masih mendapat penolakan dari banyak masyarakat Papua. Sehingga menurutnya, hal itu bertentangan dengan poin kedua dari Teori Efektivitas Hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen sehingga pembentukan ketiga UU a quo tidak diperhitungkan efektivitasnya.
Sementara itu, pemerintah melalui Kemendagri terus bergerak melakukan percepatan persiapan peresmian 3 provinsi baru di Papua. Kemendagri telah mengirimkan Satgas DOB Papua dan telah bergerak ke 3 lokasi provinsi baru sejak Senin, 5 September 2022 lalu.
Diberitakan sebelumnya, kunjungan kerja tahap pertama dimulai pada rentang waktu 5-10 September yang meliputi Kabupaten Merauke Provinsi Papua Selatan yang dilakukan oleh Kelompok Kerja (Pokja) I, Kabupaten Nabire Provinsi Papua Tengah oleh Pokja II, dan Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua Pegunungan oleh Pokja III. Hingga kini, Satgas DOB terus bekerja mempersiapkan kebutuhan dan keperluan peresmian ketiga provinsi baru di Papua tersebut. (UWR)