PAPUA BARAT, JAGAMELANESIA.COM – Senator Papua Barat Filep Wamafma meminta pemerintah daerah transparan tentang pengelolaan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas kepada masyarakat. Menurut Filep, transparansi ini sangat penting terutama bagi masyarakat adat guna menjamin keterbukaan informasi tentang pengelolaan penerimaan yang efisien, efektif dan tepat sasaran.
Filep menjelaskan, penerimaan bagi hasil migas ini dialokasikan sebesar 10% untuk belanja bantuan pemberdayaan masyarakat adat yang diatur dalam Pasal 36 Ayat 2 huruf (d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 tentang tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat.
“Saat kita masih melihat masyarakat adat sebagai pihak yang berhak menerima DBH Migas ini menuntut haknya, maka kita perlu pertanyakan transparansi pemerintah setempat. Dasar hukumnya sudah jelas, jadi pemerintah wajib memenuhi hak-hak kesulungan itu,” ujar Filep, Jumat (19/8/2022).
Wakil Papua Barat di Senayan ini menerangkan, pada Pasal 36 UU Otsus Perubahan menegaskan bahwa penerimaan terkait dana perimbangan dari bagi hasil SDA Migas (sebesar 70%) atau DBH Migas ini dialokasikan sebesar 35% untuk belanja pendidikan. Sehingga, bagi hasil migas juga berkaitan dengan investasi ruang hidup masyarakat adat yang harus ada pertanggungjawaban secara moral dan ekonomi.
“Apalagi DJPb Provinsi Papua Barat sudah mengumumkan akan menyalurkan Dana Otsus tahap kedua sebesar 45 persen. Dan masih ada alokasi Dana Otsus yang bersumber dari Tambahan DBH Migas. Maka ini perlu disampaikan juga apakah digunakan sesuai peruntukannya, agar masyarakat yang berhak memang betul-betul merasakan manfaatnya,” kata Filep.
Terlebih, DJPb mengklaim kucuran dana Otsus tersebut bertujuan untuk menaikkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang saat ini berada di angka 65,26 masih jauh di bawah IPM nasional 72,29 dan menurunkan tingkat kemiskinan Papua Barat yang masih jauh di atas rata-rata nasional.
“Khusus DBH Migas, masih ada pertanyaan-pertanyaan tentang mekanisme pembagiannya, cakupan dari dana 10% tersebut, apakah dipisahkan dari pembayaran hak ulayat dan dana CSR? Kemudian terkait subyek penerima yakni masyarakat adat yang mana, apakah sesuai petunjuk dewan adat dan seterusnya perlu dijelaskan secara rinci,” ujar Filep.
Oleh sebab itu, Filep berharap pemerintah daerah dan pemerintah provinsi termasuk SKPD terkait segera tanggap dan pro aktif melaksanakan peruntukan DBH Migas. Selain itu, perlu adanya kebersamaan antara tokoh adat, pemuda-pemudi dan LMA tujuh suku Teluk Bintuni untuk mengawal pembentukan peraturan daerah khusus (Perdasus) terkait pembagian DBH tersebut.
“Wajib bagi pemerintah untuk merangkul 7 suku Teluk Bintuni melakukan sinkronasi dalam pembahasan Perdasi atau Perdasus pembagian DBH migas. Masyarakat sudah seharusnya mendapat perhatian ‘dalam bentuk nyata’ berdasarkan pembagian DBH Migas tersebut,” kata Filep.