JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Anwar Usman selaku Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menyampaikan sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua masuk tahap akhir. Ia meminta para pihak menyerahkan kesimpulan atau keterangan tambahan kepada MK paling lambat Rabu, 25 Mei 2022.
“Penyerahan kesimpulan paling lambat 7 hari kerja sejak sidang terakhir hari ini, berarti paling lambat hari Rabu, 25 Mei 2022. Sekali lagi, perlu disampaikan bahwa keterangan tambahan, baik dari Ahli ataupun dari Kuasa Pemohon sendiri bisa ditambahkan dalam kesimpulan,” ujar Anwar Usman di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Selasa (17/5/2022).
Sebelum sidang ditutup, kuasa hukum pemohon S. Roy Rening sempat mengajukan keterangan tambahan. Tambahan keterangan itu menurut Roy berkaitan dengan surat Komnas HAM, namun ia tak sempat menyampaikan isi surat tersebut.
“Majelis, ini yang berkaitan dengan surat dari Komnas HAM, berkaitan dengan surat dari Komnas HAM yang disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi tanggal 24 Maret 2022, apakah bisa diperkenankan untuk didengarkan keterangannya secara langsung?” ujar Roy Rening.
Akan tetapi, proses sidang telah memasuki tahap akhir dan akan segera ditutup. Sehingga Hakim Ketua menyampaikan apabila masih ada keterangan tambahan dari para pihak maka dapat ditambahkan pada kesimpulan.
“Sudah selesai kan, sudah selesai dari Pemohon. Jadi, acaranya Pemohon dulu, baru pada DPR dan presiden. Nah, nanti keterangannya bisa dilampirkan dalam kesimpulan kalau memang ada keterangan tambahan, termasuk dari Kuasa Pemohon sendiri, begitu, ya. Jadi, nanti silakan dilampirkan dalam keterangan atau kesimpulan dari Pemohon,” katanya.
“Jadi, agenda selanjutnya adalah penyerahan atau menyampaikan kesimpulan dari masing‑masing pihak, dari Pemohon, Presiden, dan DPR. Begitu juga Kuasa Presiden atau DPR kalau ada hal‑hal lain yang ingin disampaikan, bisa sekaligus dalam kesimpulan, termasuk tadi untuk Pemohon, keterangan tambahan dari Komnas HAM, ya, bisa sekaligus dalam keterangan tambahan,” sambungnya.
Seperti diketahui, dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).
Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.
Diantara pasal yang diajukan, dalam sidang lanjutan Selasa itu, Roy Rening mengajukan perntanyaan kepada ahli dari pemerintah, Prof. Laica Marzuki. Hal itu berkaitan dengan uji materi dalam perkara a quo, Pasal 77 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dikatakan bahwa usul perubahan atas undang‑undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR dan pemerintah sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.
“Kalau kita melihat frasa dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP, pasal ini memberikan frasa yang tidak jelas, bias, dan multitafsir, yang menimbulkan konflik dalam implementasinya. Hal itu kita lihat ketika peristiwa perubahan undang‑undang kedua ini terjadi penangkapan secara sepihak, melarang MPP melakukan kegiatan‑kegiatan, menangkap aspirasi rakyat,” ujarnya.
Roy menjelaskan, alasan Pemohon dalam perkara ini mengajukan uji terhadap Pasal 77 tersebut. Ia mengakatan, dengan tanpa mengurangi hak-hak dan kewenangan daripada DPR dan pemerintah untuk menyusun ulang, ada juga hak yang dilindungi oleh Undang‑Undang Otsus bahwa rakyat Papua yang terepresentasi melalui MRP sebagai lembaga kultural dan DPRP sebagai lembaga politik bisa membantu pemerintah dalam menyusun perubahan undang-undang.
“Oleh karena itu, menurut pendapat Ahli, apakah ini hak yang sudah diatur secara tegas mengatur hak dan kewenangan MPRP dan DPRP yang tidak jelas, bisa diabaikan begitu saja oleh pemerintah, dalam hal ini presiden? Karena tadi Ahli menjelaskan bahwa bagaimana Undang‑Undang Otsus ini memberikan perlindungan terhadap hak-hak dasar rakyat orang asli Papua.
Menanggapi pertanyaan Roy Rening, Prof Laica Marzuki menyampaikan bahwa hal itu sama sekali tidak melanggar aturan regulasi secara demokratis menurut Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945. Menurutnya, hanya redaksi pembuat undang‑undang itu sedemikian rupa membuatnya karena ini berkaitan dengan otonomi khusus.
“Otonomi khusus seperti saya katakan tadi itu dia punya ketentuan khusus, yaitu sepanjang melindungi ya, melindungi aspek budaya, sosial, ekonomi, tetapi secara konstitusional, tidak merugikan pemahaman Undang-Undang Dasar Tahun 1945.”
“Jadi, demikian pula tadi mengenai, menyinggung soal pemilihan. Soal pemilihan umum, itu artinya pemilihan yang dimaksud itu sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ayat (1) ya, itu tetap adanya. Mengapa mencantumkan pemilihan umum? Oleh karena pemilihan umum itu dilakukan secara nasional, secara nasional dan khusus bagi pemerintah, bagi daerah khusus otonomi, itu ada tambahannya. Tetapi secara konstitusional, tidak melanggar konstitusional Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” jelas Prof Laica. (UWR)