JAGAMELANESIA.COM – Delapan mahasiswa Papua yang ditahan dan didakwa makar oleh polisi karena menyampaikan pendapat politik secara damai pada 1 Desember harus segera dibebaskan, kata Amnesty International Indonesia dan Amnesty International Australia hari ini.
Polisi sering menangkap orang Papua untuk ekspresi politik damai pada tanggal 1 Desember, karena ini adalah tanggal yang dianggap banyak orang Papua sebagai Hari Kemerdekaan mereka. Tahun ini, 34 orang ditangkap, 19 pengunjuk rasa terluka, dan protes di dua kota dibubarkan secara paksa.
“Tidak seorang pun harus ditahan hanya karena mengekspresikan pendapat politik mereka secara damai,” direktur eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. “Orang Papua khususnya sering ditahan dan didakwa oleh penegak hukum karena alasan ini. Apalagi, pengunjuk rasa Papua sering diserang oleh pengunjuk rasa kontra di bawah pengawasan polisi. Tindakan represif seperti ini hanya akan menciptakan ketidakpercayaan lebih lanjut di antara orang Papua dan membuat perbaikan situasi hak asasi manusia di wilayah ini semakin sulit.”
“Kami menyerukan pihak berwenang Indonesia untuk membebaskan semua orang Papua yang ditahan hanya karena menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi,” kata Direktur Nasional Amnesty International Australia Sam Klintworth. “Pemerintah Australia harus melakukan uji tuntas atas bantuannya kepada pasukan keamanan Indonesia untuk memastikan bahwa itu sesuai dengan standar hak asasi manusia.”
Latar belakang
Sedikitnya delapan orang ditahan di kota Jayapura, Papua pada 1 Desember lalu karena mengibarkan bendera Bintang Kejora, lambang kemerdekaan Papua. Mereka tetap dalam tahanan polisi dan didakwa melakukan makar berdasarkan Pasal 106 dan 110 KUHP.
Sementara itu, sedikitnya 19 orang ditahan di Kabupaten Merauke, Papua pada 30 November terkait video tokoh masyarakat adat dan spiritual “Mama” Paulina Imbumar, yang menyatakan niatnya untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora di Merauke pada 1 Desember.
Paulina dan 16 pengikutnya dibebaskan tanpa tuduhan pada 1 Desember. Namun, dua anggota inisiatif advokasi video Papuan Voices, yang merekam dan mengunggah video tersebut, tetap ditahan dan belum didakwa.
Kapolsek Merauke Sr. Adj. Komisaris Untung Sangaji dilatih oleh Polisi Federal Australia dan telah diperiksa atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di provinsi Aceh dan Papua.
Di Kabupaten Dekai, Papua, tujuh orang ditangkap pada pagi hari tanggal 1 Desember. Mereka dituduh menghadiri upacara pengibaran bendera Bintang Kejora. Tiga anak dibebaskan pada sore hari, sedangkan empat orang dewasa dibebaskan keesokan harinya.
Juga pada 1 Desember, pengunjuk rasa di Ambon, Maluku dibubarkan secara paksa oleh polisi Indonesia, di mana 19 dari mereka terluka akibat pemukulan. Di Bali, pengunjuk rasa dibubarkan secara paksa dan diserang secara fisik oleh pengunjuk rasa kontra yang menggunakan bahasa rasis, melukai 13 orang.
Hingga November 2021, setidaknya masih ada enam tahanan hati nurani Papua di balik jeruji besi semata-mata karena secara damai menggunakan hak mereka untuk mengekspresikan pandangan politik.
Amnesty International tidak mengambil posisi apapun mengenai status politik di Indonesia, termasuk seruan untuk kemerdekaan. Namun, organisasi tersebut percaya bahwa hak atas kebebasan berekspresi mencakup hak untuk secara damai mengadvokasi referendum, kemerdekaan, atau posisi politik lainnya.
Sumber: Amnesty International