MANOKWARI, JAGAMELANESIA.COM – Pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, bertolak belakang dengan kewenangan lembaga kultur Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR di Papua dan Papua Barat. Berdasarkan amanah Pasal 76 UU 21 Tahun 2001 yang menjelaskan tentang adanya kewenangan MRP dalam memberikan persetujuan dan pertimbangan tentang usulan pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) provinsi, kabupaten, kota di tanah Papua.
Apabila revisi UU otsus jilid II dilakukan dan mengabaikan kewenangan MRP dan DPR, maka secara konstitusional negara tidak mengakui keberadaan lembaga MRP dan DPR di tanah Papua. Sedangkan MRP dan DPR merupakan satu perangkat birokrasi sebagai perpanjangan tangan pemerintah Pusat di tanah Papua.
Berkaitan dengan hal tersebut, aktivis Papua maupun elemen masyarakat dan tokoh masyarakat serta ormas Papua dalam beberapa perbincangan di media sosial seperti grup Whatsapp telah banyak menyatakan sikap. Dengan demikian pernyataan Tito diharapkan tidak membuat kegaduan di tanah Papua terkait revisi UU otsus jilid II tersebut.
Sebagai contoh apabila kewenangan MRP dan DPR diabaikan pemerintah Pusat dalam revisi UU otsus jilid II tersebut, maka secara tegas rakyat Papua menolak revisi otsus jilid II dan menyatakan membubarkan MRP dan DPR di tanah Papua. Hal tersebut dapat menuju kunci terakhir dengan memberikan hak penentuan nasib sendiri alias refrendum di west Papua.
Inilah Pernyataan Mendagri melalui Raker Pansus DPR RI
Untuk diketahui bersama bahwa Pansus DPR RI untuk RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua menggelar Rapat Kerja dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM di Gedung DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/4/2021).
Pada kesempatan itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian menyampaikan bahwa pemerintah Pusat berencana berfokus terhadap tiga pasal dalam RUU Otsus Papua.
Pertama, terletak dalam Pasal 1 yakni pada perubahan penjelasan Provinsi Papua. Dia mengatakan, adanya redefinisi Provinsi Papua ditujukan agar lebih umum dan tidak salah tafsir terkait hak otonomi khusus yang diterima oleh provinsi yang ada di Papua.
“Ini masalah redenifisi ini, tidak hanya menyangkut Papua dan Papua Barat yang sudah ada. Kalau memang nanti megantisipasi ada penataan lagi seperti mungkin nanti ada pemekaran provinsi maka juga akan dapat di-cover oleh UU yang direvisi ini,” terang Tito.
Fokus kedua pada Pasal 34 terkait dana Otsus Papua. Bagi Tito, pembahasan diktum ini perlu dilakukan agar keberlanjutan kucuran anggaran Provinsi Papua dapat dilanjutkan, sebab masa dana Otsus Papua akan berakhir pada tahun ini.
“Sehingga Pasal 34, keberlanjutan dana Otsus pemerintah menganggap perlu selain mengingat masa berlakunya akan habis 20 tahun, juga membutuhkan dasar hukum keberlanjutan dana otsus ini,” ujarnya.
Di samping itu, Tito juga menyarankan agar rencana pemekaran daerah Papua yang terdapat dalam Pasal 76 RUU Otsus Papua tidak harus meminta persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
“Kita tahu bahwa memang Pasal 76 itu pemekaran provinsi harus mendapat persetujuan MRP dan DPRD. Nah, dalam usulan pemerintah, kita mengharapkan selain ayat satu opsi satu dengan cara pemekaran melalui mekanisme MRP DPRP, yang kedua adalah pemekaran dapat dilakukan oleh pemerintah, maksudnya pemerintah pusat,” paparnya.
Menurutnya, pemekaran wilayah Papua oleh pemerintah pusat dapat mempercepat pembangunan dan meningkatkan layanan publik agar mencapai kesejahteraan masyarakat.
Kewenangan pemerintah pusat untuk memekarkan wilayah Papua, sambungnya, akan memperhatikan kesatuan sosial budaya, sumber daya manusia (SDM), ekonomi, serta aspirasi masyarakat Papua baik melalui MRP dan DPRP.
“Kenapa opsi ini disampaikan, karena opsi di MRP dan DPRP persetujuan kalau terkunci di sana, kalau deadlock di situ, sedangkan aspirasi pemekaran itu cukup tinggi kita rasakan,” pungkasnya. (WRP)