MANOKWARI, 27 Agustus 2025 — P3BHPL STIH Manokwari menanggapi langkah Polda Papua Barat yang berencana memanggil Ketua DPRD Manokwari terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyaluran dan Distributor Minuman Beralkohol di Kabupaten Manokwari.
Pemanggilan tersebut dilakukan oleh Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Papua Barat terkait dugaan maladministrasi dalam penerbitan rekomendasi Bupati Manokwari Nomor: 500.2.1/692 yang menunjuk satu pengusaha sebagai distributor minuman beralkohol. Dugaan ini mengarah pada praktik monopoli, padahal Raperda masih dalam tahap pembahasan di DPRD.
Menanggapi hal tersebut, Achmad Junaedy selaku Kepala P3BHPK STIH Manokwari, menegaskan bahwa kepolisian harus bekerja secara profesional, adil, dan sesuai dengan prinsip negara hukum. Ia menilai bahwa lembaga hukum perlu hadir mengawal agar proses legislasi tidak diintervensi secara berlebihan oleh aparat penegak hukum.
“Saya minta pihak kepolisian bekerja sesuai tupoksi dan jangan tebang pilih dalam penegakan hukum. Kasus ini tidak boleh dilihat secara sepihak. Coba kita tilik ke belakang, walaupun ada Perda Miras yang sudah berlaku sejak 19 tahun lalu, yakni Perda Kabupaten Manokwari Nomor 5 Tahun 2006, akan tetapi faktanya miras masih beredar di masyarakat. Pertanyaannya, sejauh mana peran kepolisian?” ujar Achmad Junaedy.
P3BHPK STIH Manokwari menilai pemanggilan Ketua DPRD dapat menimbulkan kesan kriminalisasi terhadap proses legislasi. Padahal, DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat sedang menjalankan fungsi konstitusional dalam membentuk regulasi daerah.
Kepala P3BHPK STIH Manokwari, Achmad Junaedy juga mempertanyakan konsistensi aparat penegak hukum dalam mengawasi peredaran minuman keras di Manokwari.
“Apakah Polda papua barat tahu ada aktivitas produksi miras ilegal di Manokwari? Kalau tahu, apa yang sudah dilakukan Polda papua barat dan Polres Manokwari? Jangan sampai hukum hanya tajam ke satu pihak, tapi tumpul ke pihak lain,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ahmad meminta kejelasan terkait barang bukti hasil sitaan minuman keras ilegal yang selama ini dilakukan aparat.
“Misalnya ada miras ilegal yang disita. Barang sitaan itu dimusnahkan di mana? Ini yang harus transparan. Kepolisian tidak boleh memilih kasus tertentu saja, melainkan menegakkan hukum seadil-adilnya untuk semua pihak,” tambahnya.
Sebagai lembaga yang fokus pada advokasi hukum dan perlindungan hak masyarakat, P3BHPK STIH Manokwari menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses penegakan hukum agar berjalan sesuai prinsip keadilan, transparansi, serta tidak menghambat kewenangan DPRD dalam melaksanakan fungsi legislasi demi kepentingan rakyat.
Hal ini sejalan dengan Mekanisme Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan yaitu apabila suatu Perda Kabupaten atau Kota dinyatakan tidak berlaku, dicabut atau dirubah, harus disesuaikan dengan aturan perundang-undangan Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Bahwa sebelumnya pernah diterbitkan Surat keputusan guburnur nomor :188.3-6/113/5/2016 tentang pembatalan peraturan daerah kabupaten manaokwari nomor 5 tahun 2006 tentang larangan pemasukan, penyimpanan pengedaran, penjualan serta memproduksi minuman beralkohol, namun, SK Gubernur tersebut harus disesuaikan lagi dengan adanya Putusan MK Nomor :137/PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor :56/PUU-XIV/2016, yang pada Pokoknya menegaskan bahwa kewenangan untuk menyatakan suatu perda bertentangan dengan Undang-Undang adalah Kewenangan Mahkamah Agung dengan Mekanisme Hak Uji Materiil ke MA, sehingga Kewenangan Gubernur untuk mencabut suatu Perda itu dinyatakan tidak berlaku dan bertentangan dengan UUD.
Oleh karena itu, Proses Pembahasan Raperda Miras oleh DPRK Manokwari yang sedang berlangsung telah mengikuti mekanisme yang telah diatur oleh Peraturan Perundangan-Undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga kiranya pihak kepolisian Polda Papua Barat dapat menghormati proses legislasi apakah ada perubahan atau pun penambahan dalam rancangan perda miras yang terbaru yang dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat manokwari terkait minuman keras di kabupaten manokwari.
Achmad Junaedy selaku kepala P3BHPK STIH manokwari juga menyarankan kepada pihak Polda Papua Barat dan Polresta manokwari untuk bekerja lebih transparan. Menurutnya, pengalamannya sebagai seorang advokat dalam penanganan perkara miras di Pengadilan, terdapat bukti bahwa adanya oknum-oknum pihak kepolisian yang menerima iuran dari pedangan miras yang ilegal. Hal ini tentu menciderai penegakkan hukum.
“Kasus yang pernah kita temukan misalnya apabila pedagang ilegal tidak menyetor iuran maka akan menjadi target operasi, sedangkan banyak sekali penjualan miras ilegal di kabupaten manokwari namun hanya beberapa penjual minuman ilegal yang menjadi target operasi sehingga disini saya melihat adanya tebang pilih dalam penegakan dan proses hukum terhadap pelanggaran miras di kabupaten manokwari,” pungkasnya.
Achmad junaedy selaku kepala P3BHPK STIH Manokwari melihat dalam proses penanganan tindak pidana miras, sanksi hukumannya hanya paling lama 6 bulan kurang badan dan atau denda 50 juta, yang seharusnya dalam pembahasan perda miras yang baru perlu di kaji lebih dalam dengan melibatkan akademisi dan praktisi hukum. Hal itu agar pembahasan perda miras tersebut dapat diatur lebih baik, apa yang masih menjadi kelemahan pada perda miras sebelumnya dan agar dapat dilakukan perubahan. Hal itu menjadi penting sehingga tidak menimbulkan polemik adanya monopoli.
“Kalau pun miras dilarang, harusnya aparat kepolisian dan satpol PP harus tegas dalam memberantas penjualan miras ilegal tanpa pandang bulu,” tutup dosen STIH Manokwari tersebut.