JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Proses hukum atas kasus yang melibatkan sejumlah kepala daerah non aktif Papua terus berjalan. Dalam perkembangannya, di kasus dugaan korupsi Bupati non aktif Mamberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak (RHP), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengultimatum salah satu saksi yakni staf Partai Demokrat Papua Yohana Delaflata yang mangkir dari panggilan tim penyidik.
“Telah dipanggil secara sah menurut hukum namun saksi tidak hadir tanpa konfirmasi,” kata Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Selasa (13/6/2023).
Ali menerangkan, pemeriksaan terhadap Yohana dibutuhkan tim penyidik guna mengonfirmasi terkait dugaan aliran dana korupsi Ricky Ham Pagawak. Adapun Ricky Ham Pagawak ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Oleh sebab itu, Ali menegaskan agar Yohana bersikap kooperatif dan memenuhi panggilan KPK berikutnya.
“Kami ingatkan agar saksi hadir pada pemanggilan berikutnya karena keterangan saksi dibutuhkan untuk dikonfirmasi atas dugaan aliran uang tersangka RHP,” kata Ali menegaskan.
Tim penyidik KPK menduga, Ricky Ham Pagawak menikmati uang suap, gratifikasi, dan TPPU senilai Rp 200 miliar. Dari jumlah tersebut, KPK telah menyita berbagai aset Ricky dengan nilai mencapai puluhan miliar. Sebelumnya, KPK juga telah menyita uang Rp 1,5 miliar dari staf Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat bernama Reyhan Khalifa yang telah menjalani pemeriksaan.
Selain itu, Ketua Kepala Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Andi Arief juga telah diperiksa penyidik terkait sumbangan yang diberikan Ricky Ham Pagawak ke kader Demokrat.
Sementara itu, pada kasus yang melibatkan nama Lukas Enembe, Rijatono Lakka selaku Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, yang merupakan penyuap Gubernur Papua nonaktif itu divonis hukuman 5 tahun penjara terkait suap Rp 35,4 miliar kepada Lukas.
Vonis dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Dalam putusannya, hakim menilai Direktur PT Tabi Bangun Papua itu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan pertama jaksa penuntut umum.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Rijatono Lakka terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama,” ujar Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika saat membacakan putusannya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (14/6/2023).
Majelis Hakim menilai, Rijatono Lakka terbukti melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana selama lima tahun,” kata Hakim Dennie Arsan.
Selain pidana badan, terdakwa penyuap Lukas Enembe itu juga dijatuhi pidana denda sebesar Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan. Putusan ini sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap Rijatono Lakka selama lima tahun.
Atas vonis itu, kuasa hukum Rijatono, Pither Singkali menyampaikan akan mempertimbangkan apakah mengajukan banding atas vonis tersebut ataupun tidak.
“Bukan menerima ya kita tunggu putusan kita terima secara resmi, karena ada waktu 7 hari sambil kita koordinasikan,” kata Pither Singkali kepada wartawan di PN Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (14/6/2023).
Pither menyanyangkan tak ada hal meringankan yang dipertimbangkan hakim dalam vonis tersebut. Dia menegaskan pihaknya akan memutuskan mengajukan banding atau tidak atas vonis tersebut dalam waktu 7 hari.
“Tentunya kita mengharapkan ada rasa keadilan, sama sekali pertimbangan meringankan sama sekali dari pihak (tidak ada yang dipertimbangkan), padahal klien kami cukup kooperatif mengikuti dari awal sampai ini. Kami pun sudah membayangkan akan ke sana,” katanya. (UWR)