BerandaDaerahKebijakan Nasional Dinilai Tak Selesaikan Masalah Struktural di Papua

Kebijakan Nasional Dinilai Tak Selesaikan Masalah Struktural di Papua

JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – KontraS menyampaikan riset yang pada intinya menemukan berbagai fakta dan fenomena berkaitan dengan pola permasalahan pengambilan kebijakan publik yang sifatnya strategis oleh pemerintah pusat dan selanjutnya telah/sedang berjalan di Bumi Cenderawasih.

Wakil Koordinator KontraS Andi Muhammad Rezaldy menyampaikan, bermacam komitmen pemerintah telah disampaikan untuk memperbaiki situasi di lapangan, tetapi nyatanya tidak berimplikasi pada tuntasnya masalah struktural di Papua.

“Berbagai kebijakan justru makin menegaskan kentalnya kepentingan Jakarta. Terlebih agenda tersebut terkesan sangat dipaksakan walaupun mendapatkan banyak penolakan, tercermin dalam gelombang demonstrasi yang dilakukan oleh OAP, bukan hanya saja di Papua,” ujarnya di Jakarta, dikutip dari laman resmi KontraS, 14 April 2023.

Riset tersebut diuraikan secara terperinci dalam sebuah buku yang diluncurkan KontraS berjudul “Gagal Menyentuh Akar Konflik dalam Balutan Ilusi Pembangunan” sebagai kritik terhadap pola pengambilan kebijakan di tanah Papua.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menaruh perhatian pada ragam bentuk ketidakadilan, rantai kekerasan dan pelanggaran HAM yang terus terjadi di Papua. Sebagai upaya untuk mendorong perbaikan situasi, KontraS meluncurkan sebuah buku yang diberi judul Gagal Menyentuh Akar Konflik dalam Balutan Ilusi Pembangunan”.

“Kami memetakan setidaknya terdapat sembilan (9) kebijakan yang memiliki peran strategis selama periode kedua pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin: Program Percepatan Pembangunan (Quick Wins) lewat Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat; Penetapan Kelompok Kriminal Bersenjata sebagai Organisasi Teroris”.

“Pekan Olahraga Nasional Papua 2021; Diperpanjangnya Otonomi Khusus; Pemekaran Wilayah Lewat Daerah Otonomi Baru (DOB); Penunjukan Penjabat Kepala Daerah di Papua; Masifnya Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Pembukaan Kebun Sawit; Food Estate; dan Pendekatan Keamanan/Operasi, kami melihat beberapa program ini bersifat kontroversial,” sebutnya. 

Lebih lanjut, Andy mengatakan, dari sejumlah kebijakan tersebut terbentuk pola dan tren dalam menentukan solusi di Papua. Menurutnya, pemerintah pusat seringkali mengambil kebijakan tanpa melalui proses partisipasi yang ideal dan maksimal. Pemerintah pusat dalam hal ini DPR bersama Presiden sebagai aktor utama, terlihat sangat terburu-buru dalam menetapkan kebijakan. Ruang partisipasi pun terkesan hanya sebagai formalitas bahkan manipulatif. 

“Selain itu, dalam penentuan kebijakan, pemerintah juga tidak mendengar dan menihilkan suara OAP. Setiap kali OAP yang berbeda pandangan mencoba untuk menyeimbangkan diskursus yang dibangun pemerintah, setiap itu pula muncul pembungkaman bahkan kekerasan. Suara masyarakat Papua disambut oleh tindakan reaktif yang oleh pemerintah, biasanya lewat aparat keamanan. Sementara di level media sosial para pendengung siap menabrak-nabrakkan dengan narasi ultranasionalis. Kami menganggap kegagalan dalam menerapkan kebijakan di Papua karena menyusutnya ruang-ruang dialogis,” kata Andy.

Tak sampai disitu, dirinya menyampaikan bahwa pendekatan keamanan/sekuritisasi juga terus dilanjutkan sebagai bagian dari kebijakan pengamanan yang selalu menyertai hampir seluruh kebijakan strategis. Pola pendekatan ini ditandai dengan menurunkan pasukan dan membangun posko-posko keamanan ataupun militer di Papua. Hasilnya, eskalasi konflik pun tak kunjung usai, sehingga aktivitas kontak tembak pun masih kerap terjadi.

Upaya untuk mengevaluasi dan mengukur keberhasilan regulasi, kebijakan dan langkah teknis yang terus berlangsung di Papua pun sangat minim. Selama ini, KontraS menilai bahwa terdapat kesenjangan yang cukup timpang antara target dan kenyataan. 

“Di samping itu, kebijakan pun tak menyentuh salah satu akar masalah di Papua yakni impunitas. Pemerintah nampak tak pernah serius dalam mengusut tuntas kejahatan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Di tengah situasi demikian pun, pemerintah Indonesia terus menunjukkan sikap resisten, anti kritik bahkan menyerang balik di beberapa forum global. Pelanggaran HAM di Papua terus ditutup-tutupi seakan situasi dalam keadaan normal dan baik-baik saja,” ungkapnya.

Pihaknya menilai tanpa dialog damai yang dibangun secara serius, ribuan kebijakan yang menyentuh penyelesaian konflik di Papua hanyalah angan. Oleh sebab itu, dialog harus diupayakan demi perbaikan situasi kemanusiaan di Papua. 

“Kebijakan pemerintah pusat justru memiliki kecenderungan diarahkan pada akselerasi agenda khususnya eksploitasi sumber daya alam dan dalih stabilitas keamanan. Selain itu, pola pengambilan kebijakan yang ada selama ini akhirnya berbuah pada kesan sentralistik, elitis, teknokratis dan birokratis. Di samping itu, dengan label NKRI harga mati dan pembangunan untuk kesejahteraan, motif-motif pemerintah pusat dipaksakan walaupun tak berimplikasi signifikan pada penyelesaian konflik di Papua,” tuturnya. (UWR)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru