SORONG, JAGAMELANESIA.COM – Sebagaimana surat Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor B.27582/DJPSDKP/X/2021 tanggal 11 Oktober 2021, tentang Pertambangan galian C di Sorong Papua Barat, yang terindikasi menyebabkan terjadinya pencemaran dan kerusakan pesisir sebagai dampak dari tambang galian C, oleh PT. Bagus Jaya Abadi, PT. Pro Intertecha, PT. Akam, PT. Davico Enginering, serta PT. Lintas Arta Lestari.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Sisar Matiti, Yohanis Akwan, melalui pres rilisnya, meminta tim gabungan penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (Kement ATR/BPN), melakukan menyelidiki.
Lanjut Yohanis, Jika ada dugaan maka langkah penyegelan kegiatan reklamasi yang ditemukan di pantai kota Sorong harus dilakukan. Reklamasi pantai tanpa izin ini diketahui dilakukan oleh PT. Bagus Jaya Abadi, PT. Pro Intertecha, PT. Akam, PT. Davico Enginering serta PT. Lintas Arta Lestari.
Sambungnya, tindakan tegas penghentian reklamasi di Kota Sorong ini, berdasarkan data yang kami analisis ada dua pelanggaran, pertama bahan galian C dan Reklamasi, juga merusak terumbu karang, dan ekosistem laut,” ujarnya.
“Dugaan kasus ini menurut kami harus mendapatkan perhatian dan pengawasan KPK, karena kegiatan reklamasi tanpa izin ini bisa saja terjadi di beberapa tempat lagi, sehingga agar kedepannya tidak terjadi hal serupa di tempat-tempat lain, maka perlu diambil tindakan tegas oleh pihak yang berwajib.
Menurut Yohanis, kehadiran KPK dalam dugaan kasus reklamasi ini sangat dibutuhkan dan harus segera disikapi dengan serius. Langka penindakkan kejahatan Sumberdaya Alam (SDA) termasuk reklamasi yang merusak ekosistem laut dan lingkungan, sebagai dampak dari galian C ini menunjukan dugaan kejahatan serius dan luar biasa, sehingga tindakan tegas penyelidikan dan penindakan harus dilakukan agar ada efek jera,” terangnya.
Sebagaimana Undang-Undang, Pasal 98 dan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara dan denda paling banyak 10 milyar rupiah, serta Pasal 69 ayat (1) dan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang, dengan ancaman hukuman 3 tahun penjara dan denda paling banyak 500 juta rupiah.
“Selain itu pada Pasal 73 ayat (1) huruf (g) jo Pasal 35 ayat (1) dan/atau Pasal 75 jo Pasal 16 ayat (1), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dengan ancaman hukuman paling lama 10 tahun penjara dan denda paling banyak 10 milyar rupiah.
Lebih lanjut, Yohanis, menambahkan agar dugaan kasusnya menjadi terang, maka penyelidikan harus menjadi komitmen bersama kementerian, sebagai wujud dari hukum lingkungan demi penyelematan ekosistem dan lingkungan hidup berkelanjutan. Dan apabila terbukti ada indikasi perbuatan melawan hukum maka pelaku harus dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegasnya.(ST).