PAPUA, JAGAMELANESIA.COM – Kekerasan demi kekerasan terus terjadi di Tanah Papua. Pada hari Jumat (10/10) yang lalu, kekerasan yang dilakukan oleh Orang Tak Dikenal (OTK) menyebabkan tewasnya seorang tenaga pendidik, terjadi di Distrik Holuwon, Kabupaten Papua Pegunungan.
Menyikapi kejadian tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk Papua (MPR for Papua) turut menyampaikan sikap. Ketua MPR for Papua, Yorrys Raweyai, menyatakan bahwa peristiwa yang menimpa Melani Wamea, Guru di Sekolah Jhon D. Wilson, sudah tidak bisa ditelorir.
“Siapapun pelakunya, kekerasan terhadap oknum tenaga pendidik si Papua Pegunungan, tidak bisa diterima atas alasan apapun”, kata Yorrys dalam keterangannya (14/10/2025).
Wakil Ketua DPD RI itu menambahkan, fenomena kekerasan terhadap tenaga pendidik di Tanah Papua sudah terjadi berulang kali. Sejak awal tahun 2025 hingga saat ini, puluhan tenaga pendidik mengalami kekerasan. Diantaranya ada yang kehilangan nyawa, hingga mengalami luka berat.
Yorrys mengimbau aparat keamanan untuk melakukan tindakan tegas dan investigasi secara menyeluruh terkait fenomena tersebut. Sebab tenaga pendidik adalah garda terdepan dalam pembangunan sumber daya manusia di Tanah Papua.
“Saya meminta seluruh pihak, khususnya aparat keamanan untuk melakukan tindakan tegas dan investigasi menyeluruh untuk menjamin keamanan dan kenyaman bagi tenaga pendidik di Tanah Papua dalam menjalankan aktivitasnya”, tegas Yorrys.
Sementara itu, Sekretaris MPR for Papua, Filep Wamafma, menyatakan bahwa kekerasan yang terus terjadi terhadap tenaga pendidik di Papua Pegunungan memerlukan respons komprehensif dari semua pihak yang berkepentingan dengan masa depan Papua menuju Tanah Damai.
Ketua Komite III DPD RI yang membidani aspek pendidikan itu juga menegaskan bahwa puluhan korban tenaga pendidik selama tahun 2025 itu seharusnya membuat seluruh pihak mencurahkan perhatian yang serius. Tidak cukup lagi dengan retorika perdamaian, apalagi sekadar persoalan OPM vs TNI/Polri.
“Kekerasan yang menimpa guru di Yahukimo ini sudah menyangkut masalah kemanusiaan. Bukan sekadar tentang perbedaan ideologi, tapi masa depan generasi Papua di masa yang akan datang”, pungkas Filep. (Rls)