Labuha – Dugaan pelanggaran etik oleh Kepala Desa (Kades) Busua, Kecamatan Kayoa Barat, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) berupa aksi Video Call Seks (VCS) yang ditengarai bermuatan tindakan amoral, menuai kecaman keras dari publik khusunya masyarakat Halsel.
Selain masyarakat kecaman ini juga datang dari salah satu akademisi Sekolah Tinggi Agama Islam Alkhairaat (STAIA) Labuha, Muhammad Kasim Faisal, S.Pd., M.Pd.
Kasim, sapaan akrab, Muhammad Kasim Faisal, S.Pd., M.Pd, kepada media ini Jum’at (18/7), menilai bahwa Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kab. Halsel, lambat dan terkesan takut mengambil keputusan tegas, terkait dengan kasus dugaan VCS dimaksud.
“Kasus ini sudah terang-benderang. Tapi DPMD justru seolah menghindar dari tanggung jawab tanpa alasan yang jelas. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, ini penghinaan terhadap moral publik,” pungkas Kasim.
Kasim, menegaskan dalam kasus ini, pihaknya menilai bahwa Pelaksana tugas (Plt.) Kepala DPMD, Zaki Abd Wahab, tidak becus serta tidak ada ketegasan dalam penanganan persoalan VCS yang diduga dilakukan Kades Busua tersebut.
“Ketidaktegasan Zaki, selaku Plt. Kepala DPMD Halsel ini dapat memperkuat dugaan bahwa DPMD enggan mengambil risiko politik, dikarenakan ada kemungkinan tekanan dari atasan, sehingga ini patut untuk dipertanyakan,” tegas Kasim.
Sementara itu lanjut, Kasim anggota DPRD Halsel dari Dapil Makian-Kayoa berinisial IN, juga mendapat sorotan terkait dengan kasus dugaan tindak amoral, yang diduga dilakukan oleh salah satu oknum Kades di Kayoa Barat tersebut.
“Hal ini dikarenakan IN, diketahui tidak pernah menindaklanjuti mediasi pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada beberapa waktu lalu, sehingga publik menganggap pembahasan terkait kasus dugaan VCS yang melibatkan oknum Kades ini, hanya sekedar sensasi politik tanpa solusi yang nyata,” ungkap Kasim.
Menurut, Kasim, ini bukan sekadar kasus pribadi, tapi menyangkut nama baik pemerintah daerah, yang harus dijaga sehingga tidak tercoreng dimata masyarakat, hanya karena ulah satu orang oknum Kepala Desa.
“Olehnya itu kredibilitas lembaga legislatif dan eksekutif juga wajib untuk dijaga. Dikarenakan ketika DPRD tidak memahami tugas dan fungsi pengawasan, maka pengkhianatan terhadap rakyat benar-benar terjadi,” terang Kasim.
Lebih lanjut, Kasim, menjelaskan bahwa penindakan terhadap Kades Busua, seharusnya sudah bisa dilakukan berdasarkan regulasi, sebagaimana yang telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
“Selain itu ada juga sejumlah peraturan pemerintah seperti, PP Nomor. 43 Tahun 2014, diubah melalui PP Nomor. 11 Tahun 2019, dan Permendes PDTT Nomor. 18 Tahun 2016, Pasal 15 ayat (1), serta Kode Etik Aparatur Pemerintah Desa sebagaimana yang tertuang dalam Permenkumham.
Kasim, juga mengutip pemikiran Ir. Soepomo, tokoh perumus UUD 1945, dikutip dalam bukunya Pergulatan Tafsir tentang Negara Integralistik. Bahwa negara ideal bersifat integralistik, mengutamakan kekeluargaan, musyawarah, keadilan sosial, dan tanggung jawab moral.
“Soepomo menolak bentuk kekuasaan yang melayani kepentingan pribadi. Kepala desa adalah pelayan rakyat, bukan pemilik kekuasaan. Ketika pelanggaran etik dibiarkan, maka kita membiarkan negara rusak dari unit terkecilnya,” ujarnya.
Dari dasar peraturan perundang-undangan tersebut diatas maka, Kasim, mendesak kepada DPMD Halsel, segera membentuk tim evaluasi independen dan menonaktifkan Kades Busua sampai hasil pemeriksaan resmi keluar.
Kasim, juga meminta dengan tegas kepada anggota DPRD Dapil Makian – Kayoa berinisial IN, agar menjelaskan secara terbuka alasan mandeknya tindak lanjut RDP, serta menyampaikan hasilnya ke publik.
Ia juga meminta agar masyarakat desa terus aktif menyampaikan pengaduan secara resmi, demi memperkuat kontrol publik terhadap pemerintah desa.
“Jika semua hanya sibuk dengan pencitraan, maka keadilan akan mati pelan-pelan di desa-desa. Ini menjadi tanggung jawab moral seluruh elemen, terutama DPMD dan DPRD yang digaji untuk melayani rakyat, bukan melindungi pelanggar etik,” tutup Kasim.