JAKARTA, JAGAMELANESIA.COM – Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma, SH, MHum menanggapi keresahan hingga sikap penolakan masyarakat adat terhadap keberadaan banyak tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pasalnya, Raja Ampat yang selama ini dikenal sebagai ikon pariwisata sekaligus pusat konservasi ini, diduga tengah mengalami ancaman serius dengan semakin maraknya tambang nikel.
“Kita memahami resistensi masyarakat adat yang semakin merasa khawatir atas potensi ancaman bagi lingkungan dan juga ruang hidupnya. Dalam lima tahun terakhir, ekspansi IUP nikel di Raja Ampat melonjak drastis, dengan penambahan wilayah konsesi seluas 494 hektare. Maka muncul reaksi masyarakat adat Suku Betew dan Maya dari 12 kampung di Distrik Waigeo Barat Kepulauan dan Distrik Waigeo Barat Daratan, menyatakan penolakan terhadap aktivitas tambang di Pulau Batan Pele dan Pulau Manyaifun itu. Bahkan aspirasi ini sudah sampai ke DPRD pada 24 Maret 2025,” kata Filep, Senin (19/5/2025).
“Kita cermati alasan penolakan ini adalah karena areal konsesi tambang itu disebut merupakan wilayah adat dan kawasan hutan lindung sehingga aktivitas bisnis ekstraktif tambang nikel dikhawatirkan akan menggunduli hutan, merusak dan mencemari lingkungan sekitar dan ekosistem laut. Tentu, hal ini patut kita perhatikan,” katanya lagi.
Diketahui, setidaknya terdapat 4 perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Raja Ampat, yaitu PT Gag Nikel yang merupakan anak perusahaan PT Antam Tbk dengan IUP seluas 13.136 hektare di Pulau Gag (6.060 ha darat, 7.076 ha laut). Lalu, PT Kawei Sejahtera Mining yang memiliki IUP seluas 5.922 hektare di Pulau Kawei dengan masa izin 2013–2033.
Ada juga PT Anugerah Surya Pratama yang menguasai IUP seluas 9.365 hektare di Pulau Manuran dan Waigeo dan PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP) yang memiliki IUP seluas 2.194 hektare di Pulau Manyaifun dan Batang Pele, dan sudah mulai melakukan survei dan pengambilan sampel sejak September 2024.
“Kita tahu, wisata Raja Ampat merupakan penggerak ekonomi kerakyatan. Kita bisa cek data BPS soal jumlah wisatawan, rata-rata lama tinggal, dan tingkat hunian akomodasi, yang mengindikasikan jelas pariwisata sebagai penggerak ekonomi utama. Lagi pula mayoritas penduduk Raja Ampat punya hubungan yang erat dengan laut, sektor perikanan jadi tulang punggung ekonomi keluarga, yang sekaligus berkontribusi ke pendapatan daerah. Oleh sebab itu, sangat beralasan bila penolakan terus dilakukan atas tambang nikel,” ujar Ketua ADRI Papua Barat itu.
Senator Filep lantas menyinggung sisi hukum dimana MK dalam sidang Putusan Nomor 35/PUU-XXI/2023, telah menolak permohonan uji materi terkait aturan larangan penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dimohonkan oleh PT. Gema Kreasi Perdana. Menurut MK, larangan ini dimaksudkan sebagai bentuk pengendalian terhadap kegiatan penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil karena secara filosofis pulau-pulau kecil sangat rentan dan terbatas sehingga memerlukan perlindungan khusus.
“Nah, bahkan MK juga menyatakan bahwa kegiatan pertambangan dapat dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity yang dalam doktrin hukum lingkungan harus dilarang untuk dilakukan karena tidak ditujukan untuk menunjang kehidupan ekosistem dan mengancam kehidupan seluruh makhluk di atasnya,” sebutnya lagi
“Tentu saja pertimbangan MK berkaitan erat dengan dampak dari pertambangan, in casu nikel, yaitu kerusakan Ekosistem Laut dimana ada sedimentasi menutupi terumbu karang, menurunkan populasi ikan, dan berdampak jangka panjang terhadap keseimbangan ekosistem laut. Belum lagi, pencemaran air dimana limbah tambang mengandung logam berat yang mencemari laut, serta deforestasi atau penggundulan hutan, khususnya di Pulau Gag,” tambah Filep yang juga Pembina Perhimpunan Advokat Indonesia Papua Barat tahun 2024 itu.
Filep menilai meskipun terdapat komitmen perusahaan, misalnya PT Gag Nikel yang menyatakan komitmennya pada tambang ramah lingkungan dan kontribusi pada masyarakat lokal, namun dampak negatif dalam jangka waktu panjang akan dirasakan oleh anak cucu Raja Ampat. Oleh karena itu, Ketua Komite III DPD RI itu menyampaikan beberapa rekomendasi penting kepada pemerintah.
“Komite III DPD RI memberikan atensi atas masalah ini yang diduga merugikan objek pariwisata dan lingkungan. Maka pertama, saya mendorong pemerintah pusat yakni kementerian terkait hingga pemda untuk memeriksa dan meninjau kembali kebijakan pengelolaan tambang nikel di Raja Ampat. Kedua, segera mengeluarkan Perda terkait pengelolaan SDA dan Mineral di wilayah Raja Ampat untuk memperkuat peraturan yang sudah ada,” tegasnya.
Diketahui, sejauh ini baru terdapat Perbup Raja Ampat Nomor 8 Tahun 2017 tentang Perlindungan Ikan, Biota Laut dan Potensi SDA Lainnya di Wilayah Pesisir Laut dalam Petuanan Adat Suku Maya Raja Ampat; Perda No 27/2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah, Perda No 8/2010 tentang Pengelolaan Terumbu Karang, Perda No 8/2012 tentang Perlindungan Hutan Mangrove dan Hutan Pantai, serta Perda No 9/2012 tentang Larangan Penangkapan Ikan Hiu, Pari Manta, dan Jenis Ikan Tertentu di Perairan Laut Raja Ampat.
“Semua perda ini hanya mengurus soal kelautan dan perikanan di Raja Ampat, demi menunjang ekonomi masyarakat dan pariwisata. Oleh karena itu sangat penting mengeluarkan perda pengelolaan SDA dan Mineral di wilayah Raja Ampat, karena akan berpengaruh pada perikanan dan pariwisata. Ketiga, pemerintah perlu meningkatkan standar pengelolaan lingkungan dalam industri pertambangan nikel, termasuk pengelolaan limbah tambang, pengelolaan air, dan mitigasi dampak lingkungan. Kemudian keempat, pemerintah harus menyelenggarakan mitigasi dampak lingkungan secara cepat, tepat, dan terintegrasi,” tutupnya.