BerandaOpiniWillem Wandik: Adakah Masa Depan Papua dalam Otsus Jilid 2?

Willem Wandik: Adakah Masa Depan Papua dalam Otsus Jilid 2?

JAGAMELANESIA.COM – Sejarah bernegara dalam pergaulan negara bangsa “state” di Tanah Papua, sejatinya telah dimulai sejak 1961 – 1962. Ketika UNTEA mengambil alih sementara kekuasaan Belanda di West Papua, dan pada saat itu lahirlah kesadaran politik yang di pelopori oleh Putera – Puteri Tanah Papua untuk mempersiapkan pemerintahan transisi. Sekalipun dalam hukum negara, Bintang Kejora dihari ini menjadi objek perdebatan terutama bagi Pemerintah Pusat, organ militer dan keamanan. Tetapi bagi rakyat melanesia, yang berambut keriting dan berkulit hitam, memaknai Bintang Kejora itu sebagai “politic of hope”, sebagai politik harapan, yang memberikan “identity address” atau identitas perjuangan yang akan terus mewarnai kehidupan ketatanegaraan dan kebangsaan di Tanah Papua, dalam perspektif Indonesia di masa lalu, dihari ini dan dimasa yang akan datang.

Kami hanya perlu mengingatkan, bahwa sejarah Tanah Papua itu bukanlah sejarah “penyerahan kekuasaan” dari tangan belanda ke tangan pemerintahan republik di Jakarta, melainkan, melibatkan “konsensus kolektif anak anak Bangsa Ras Melanesia” dalam peristiwa yang kita kenali sebagai Refefendum 1969.

Sehingga, sebagai Anak Bangsa Melanesia Papua, yang melihat begitu dekat praktek kekuasaan nasional, sejak menduduki jabatan anggota Parlemen RI sejak 2014 silam, kami melihat, begitu banyak miss-interpretasi (kesalahan berfikir) dalam penerapan kebijakan yang dipandang baik secara sepihak oleh Jakarta, namun, justru mempertajam konflik struktural (rakyat versus alat kekuasaan) di Tanah Papua, sehingga mama mama tidak dapat lagi menyusui anak anaknya dengan aman, para pemuda/pelajar/mahasiswa lebih memilih bergumul dalam aksi unjuk rasa dibandingkan menuntaskan studi mereka, para pendeta/gembala/pastor/pelayan umat tidak lagi merasa aman dalam menjalankan pelayanan terhadap umat di gunung gunung/di lembah lembah, suku suku komunal yang memegang hak ulayat atas tanah, hutan, pepohonan, harus terusir dari akar budayanya, karena dipaksa menyingkir oleh pemegang konsesi hutan/perkebunan dan ijin ijin pengelolaan kawasan hutan yang diterbitkan diatas lahan lahan adat.

Kami ingin mengingatkan kepada kita semua, tentang sejarah integrasi Tanah Papua, yang lahir dari “kesepakatan/konsensus dan janji janji para pendiri negara di Jakarta” terhadap eksistensi Bangsa Melanesia Papua, dalam pangkuan Republik Indonesia.

Oleh karena itu, Pemberian Otsus Papua, atau penggunaan istilah Otsus Papua di masa 4 dekade (selama 40 tahun), masa integrasi Tanah Papua ke pangkuan Republik ( sejak 1969 – sampai 2000 an), yang menemukan momentum pergerakannya pada masa era reformasi, dengan lahirnya UU otsus 2001, sampai tahun 2020 ini, belum menghadirkan “rasa keadilan” seperti yang diharapkan oleh rakyat Melanesia di Tanah Papua.

Mungkin sulit untuk dipahami oleh sebagian besar, rakyat Indonesia yang hidup di pulau  Sulawesi, Kalimantan, Jawa, di pulau sumatera, dan di Pulau  lainnya, jika Rakyat di Tanah Papua itu sejatinya hanya menuntut “keadilan” atas janji janji para pendahulu negara, terhadap eksistensi Bangsa Ras Melanesia Papua di atas tanahnya sendiri.

Disepanjang Rancangan Otsus Papua, yang akan di susun oleh Tim Pemerintah Pusa, melalui tim ahli Mendagri, tidak bisa memahami “definisi keadilan” bagi Bangsa Ras Melanesia di Tanah Papua, maka selama itu pula, upaya apapun untuk memberi Otsus di Tanah Papua dengan skema Otsus Berjilid Jilid (Jilid 1, Jilid 2, dan seterusnya), tidak akan mampu mendamaikan “benturan peradaban, benturan ketatanegaraan, benturan warga sipil versus alat negara” di Tanah Papua.

Sehingga pertanyaan mendasar yang perlu dijawab oleh semua kalangan, yang menawarkan Resolusi Otsus Jilid 2, dalam rancangan UU yang disusun sepihak oleh Pemerintah Pusat.. Apakah, suara rakyat ras melanesia, di hari ini, (mahasiswa, pelajar, tokoh muda, tokoh adat, tokoh agama) termasuk kami yang mewakili Tanah Papua secara politik di parlemen RI, apakah tidak memiliki hak suara untuk menentukan Konsiderans dan penjabaran Batang Tubuh UU Otsus Papua Jilid 2 yang sedang disiapkan Pemerintah Pusat?

Sehingga, menilik tema “dua frase kalimat tentang masa depan Papua dan Otsus Papua” dalam kongres ke XXXVII (37) diatas, terhadap proses legislasi Rancangan Otsus Papua, versus masalah fundamental di Tanah Papua yang terus mendapatkan kritik tajam dari kaum intelektual maupun para pemangku politik yang membawa aspirasi rakyat di gedung gedung parlemen rakyat, mengisyaratkan, bahwa Tidak Ada Masa Depan Papua Dalam Rancangan Otsus Papua Jilid 2.

Dihari ini, kami belum menemukan penjabaran revisi Pasal Pasal dalam Otsus tentang, Pengakuan Sejarah gerakan politik pribumi ras melanesia Tanah Papua 1961 – 1962 (Rakyat di Tanah Papua pernah berdaulat atas Tanah dan negerinya), dan tidak boleh dipandang sebagai identitas separatisme, yang justru mempertajam permusuhan rakyat ras melanesia yang mencintai sejarah negerinya, dengan kelompok warga negara yang sering menamakan dirinya sebagai kelompok merah putih dan paling NKRI.. Jika benturan sejarah dan kebudayaan yang terus mendiskreditkan Tanah Papua, sebagai kelompok separatisme, sebagai sejarah “aib bagi Indonesia” maka mengapa Pemerintah Pusat mempertahankan integrasi Indonesia di Tanah Papua??.. kami sebagai ras melanesia, hanya ingin diakui apa adanya, sebagaimana kami ada.. Kami tidak suka berpura pura (bersikap hipokrit), seolah olah, kami menerima setiap ejekan dan penghinaan terhadap simbol simbol sejarah Tanah Papua dimasa lalu.. Kami adalah bangsa yang memiliki dignity (kehormatan), dan akan terus memperjuangkan kesetaraan, keadilan, dan pengakuan atas seluruh identitas sejarah Tanah Papua, sebagai satu kesatuan yang tidak bisa di pisahkan apalagi di lecehkan oleh mereka yang tidak menghormati sejarah Tanah Papua..

Kami bangsa ras Melanesia, tidak pernah “menghina atau melecehkan” gerakan kelompok agama di masa awal kemerdekaan Indonesia, yang mengusung pancasila versi piagam Jakarta sebagai bahan ejekan atau penghinaan “berbentuk tuduhan penghianatan tokoh islam terhadap NKRI”.. Tetapi ucapan itu tidak pernah diucapkan oleh tokoh tokoh ras melanesia di Tanah Papua, sebab, sebagai bangsa yang memiliki “dignity” kami menghormati setiap keyakinan sejarah, setiap anak bangsa yang berkontribusi bagi Indonesia di masa lalu.. Maka dari itu, hal yang sama pula kami inginkan sebagai bangsa Ras Melanesia Papua, pengakuan tanpa syarat apapun, kepada sejarah Tanah Papua 1961 – 1962 beserta elemen pergerakan politik pada masa itu, yang melahirkan identitas dan simbol perjuangan Bintang Kejora, yang wajib di hormati oleh siapapun di republik ini.. Tanah Papua, bukanlah tanah penyerahan, melainkan Tanah yang di sepakati oleh Bangsa Ras Melanesia Papua sendiri, untuk bergabung kedalam pangkuan Ibu Pertiwi (Bangsa Melanesia Papua melakukan Self Determination).

Selain itu, apakah pasal per pasal dalam Otsus Papua Jilid 2, mencantumkan komitmen “satu nyawa di Tanah Papua itu sangat berharga??”, bahkan dalam tradisi adat suku suku komunal di Tanah Papua, setiap kematian yang disebabkan oleh pembunuhan secara sengaja, wajib dibayar dengan darah.. Apakah peristiwa tewasnya rakyat sipil, para pendeta/gembala, di Tanah Papua, yang beririsan/bersinggungan dengan kekerasan aparatus bersenjata, akan terus disaksikan oleh setiap generasi di Tanah Papua? Sampai kapan negara membiarkan luka demi luka, yang bahkan menurut tradisi adat di Tanah Papua, setiap darah yang dirampas harus dibayar dengan darah yang sama, namun, praktek semacam itu terus dibiarkan  menumpahkan darah pribumi ras melanesia diatas tanahnya sendiri?? apakah ada masa depan Papua dalam setiap tragedi berdarah yang menumpahkan darah bangsa Papua diatas tanahnya sendiri?

Apakah dalam Otsus Papua itu, dalam pasal per pasal yang disusun oleh Tim Mendagri di Jakarta, mencantumkan hak Tanah Papua untuk mengelola sumber kekayaan alam di daerahnya sendiri?? Sampai hari ini, seluruh pengelolaan ijin sumber daya alam dalam skala besar di Tanah Papua, masih di monopoli oleh Pemerintah Pusat. Bahkan penguasaan kepemilikan saham perusahaan yang beroperasi atas nama negara di Tanah Papua, dikuasai oleh BUMN (perusahaan nasional asal Jakarta). Sehingga, melihat fakta fakta formulasi Otsus Papua yang dirancang oleh Elit nasional, tanpa melibatkan “substansi” yang sering di persoalkan oleh rakyat dan kalangan intelektual di Tanah Papua, maka kami berkesimpulan, Rancangan Otsus Papua jilid 2 yang sedang disiapkan oleh Pemerintah Pusat, akan bernasib sama dengan otsus Jilid 1 (UU 21 tahun 2001), yang tidak akan merubah apapun di Tanah Papua.

Konflik berdarah akan terus terjadi, gerakan separatisme akan terus menguat dan bahkan semakin luas, kepercayaan rakyat kepada politisi semakin menurun dan bahkan sampai pada opsi “mosi tidak percaya”, konflik sumber daya alam akan terus mencengkeram tanah tanah adat rakyat ras melanesia, dan masa depan Tanah Papua dalam pangkuan republik – masih berada dalam ketidakpastian..

Semoga Tuhan memberikan pertolongan kepada kita semua, untuk terus menyuarakan “justice/equality/keadilan” bagi generasi generasi kita yang hidup di hari ini, dan generasi generasi kita yang akan hidup dimasa masa mendatang.

Opini ini ditulis oleh Willem Wandik S.Sos.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru